Serial Surel – Idealisme Menulis

IdealismeMenulis-large

Saya Anto. Saya juga penulis. Yang saya ingin tanyakan adalah, sejauh mana idealisme dalam menulis harus dipertahankan? Karena tidak dipungkiri bahwa saat menulis ada kalanya kita punya maksud tersendiri, baik secara alur atau pemilihan kata-kata. Pernahkah maksud dan keinginan yang dituangkan dalam tulisan yang Anda buat tidak sama dengan apa yang direspons oleh pembaca? Bagaimana semestinya kita sebagai penulis? 

 

Idealisme adalah topik besar. Jadi, pertama-tama izinkan saya untuk menjawab sedikit lebih luas dari apa yang Anda tanyakan.

 

Waktu saya bermusik, saya lebih bisa memilah kapan saya idealis dan tidak. Ketika produser memberikan lagu untuk kami bawakan (waktu itu saya bergabung dalam sebuah trio) dan lagu tersebut tidak sesuai dengan selera saya tapi diduga bakal disukai pasar, seringkali saya harus kompromi karena saya tidak sendirian, ada dua partner saya yang mungkin berbeda pendapat. Perusahaan rekaman sebagai yang empunya dana, juga punya pendapat sendiri. Jadi, perkara bentrokan idealisme ini adalah makanan saya sehari-hari waktu bermusik dulu.

 

Ketika saya mulai menulis, isu idealisme tidak pernah muncul. Malah menulis menjadi semacam suaka bagi saya, karena tidak ada lagi kompromi, tidak ada lagi produser dan partner. Saya bekerja sendiri. Mengawali karier menulis dengan self-publishing semakin memperkuat kebebasan saya.

 

Sering kita tangkap bahwa konotasi umum “penulis idealis” adalah penulis yang karyanya sangat “nyastra” dan anti-mainstream. Karya saya (setidaknya menurut saya sendiri) tidak berat dan tidak selalu anti-mainstream. Idealisme bagi saya lebih berkonotasikan kebebasan berkarya sesuai selera. Dalam konteks itu, menjadi idealis adalah satu-satunya realitas yang saya tahu. Penerbit berfungsi sebagai fasilitator dan mitra kerja. Saya tidak pernah merasa didikte atau dikendalikan kreativitasnya. Dari jalur seperti itulah saya berawal, dan hingga sekarang masih seperti itu juga yang saya jalani.

 

Lalu, bagaimana relasi saya dengan pembaca? Ada beberapa tahap yang biasanya saya jalani.

 

Tahap pertama adalah ketika kita menjadi pembaca bagi karya kita sendiri. Menulis bagi saya seperti efek arus balik, sistem yang berputar kepada diri kita sendiri. Ini proses yang paling jujur dan penting. Dalam proses ini saya tidak memikirkan pembaca. Saya tidak memikirkan apakah mereka akan senang, paham, menerima, atau membenci sekalipun. Satu-satunya yang saya pikirkan adalah bagaimana menulis sejernih mungkin, seminim mungkin distorsi. Untuk diri saya sendiri. Artinya, jika yang saya maksudkan di kepala adalah A maka yang harus sampai di kertas juga A. Jangan sampai jadi B, C, atau D. Jika saya menulis hal yang lucu, saya harus bisa ikut tertawa. Kalau ada adegan yang mengharukan, saya harus ikut terharu bahkan paling tidak berkaca-kaca saat menuliskannya. Emosi jujur itulah yang akan ikut berbicara kepada pembaca. Tapi, di tahap ini kita tidak usah memikirkan siapa-siapa dulu. Pastikan apa yang kita tulis sudah sesuai dengan maksud yang ada di benak. Itu saja.

 

Tahap kedua adalah ketika manuskrip selesai dan Anda mulai membuka “ruangan privat” Anda ke beberapa orang. Entah itu editor, teman, keluarga, atau siapa pun yang Anda percaya. Pembaca-pembaca pertama ini, yang jangan terlalu banyak jumlahnya, menjadi uji coba kejernihan Anda bercerita. Amati dan catat baik-baik reaksi mereka. Di bagian yang Anda maksudkan lucu, patut dipertanyakan kalau pembaca kita tidak tertawa. Pasti ada ketidakjernihan dalam cara kita bercerita. Jika di adegan yang mengharukan dan ternyata pembaca kita malah tertawa, pasti ada yang harus diperbaiki. Maka, lakukan apa yang Anda bisa untuk merevisi. Jangan keliru tentang satu hal: yang kita cari bukan suka atau tidak suka, melainkan maksud kita sampai atau tidak. Saya beri contoh. Waktu Gelombang selesai ditulis, saya menyerahkan manuskrip ke beberapa orang yang saya percaya untuk mereka baca. Saya juga menyusun semacam daftar check point. Para pembaca ini lalu kembali ke saya dengan berbagai reaksi.

 

Reaksi semacam “tetap lebih suka Bodhi ketimbang Alfa” atau “lebih menyentuh cerita di Partikel daripada Gelombang” atau “lebih lucu Elektra ketimbang Alfa” bukan reaksi yang saya jadikan pertimbangan. Ini bukan soal suka atau tak suka. Ada puluhan jenis makanan yang sama-sama enak di daftar menu tapi tetap saja kita akan memilih satu yang sesuai selera. Jadi, jangan sampai perihal selera ini menjadi fokus kita. Buang-buang tenaga. Yang saya verifikasi adalah hal-hal sebagai berikut: di daftar check point katakanlah ada bagian A, yang saya rancang untuk jadi adegan mengharukan, saya cek di bagian itu pembaca saya merasa haru atau tidak. Lalu, di bagian B, misalnya, yang saya rancang untuk lucu, dia merasa itu lucu atau tidak. Kalau sudah sesuai, oke. Kalau belum, saya cari cara untuk memperbaiki.

 

Tahap terakhir adalah tahap ketika karya kita sudah menjadi produk yang bisa diakses siapa saja. Di tahap ini, kita sama sekali tidak memiliki kendali atas respons pembaca (di tahap kedua juga tidak, tapi setidaknya kita masih bisa diskusi one-on-one dengan para pembaca pertama kita karena jumlah mereka biasanya sangat sedikit). Kita hanya bisa mengantisipasi. Reaksi orang umumnya suka atau tak suka. Sekali lagi, jangan fokus di situ. Buang-buang tenaga. Amati reaksi di level yang lebih dalam.

 

Contohnya, ketika saya menulis adegan pertengkaran Zarah dan Abah di Partikel, saya sudah menduga akan ada pembaca yang bereaksi positif dan negatif. Adegan itu memang didesain untuk memprovokasi kita bertanya dan merenung ke dalam diri tentang hal-hal yang tidak mudah; tentang Tuhan, agama, dan iman. Apakah kemudian pembaca bereaksi negatif atau positif, itu tergantung dinamika internal mereka masing-masing, tapi sudah menjadi maksud saya bahwa adegan tersebut menyentil.  Jadi, kalau ada yang tersentil, terlepas dari komentar mereka enak atau tidak, maksud dan tujuan saya sudah berhasil.

 

Saya rasa tidak ada formula simplistik tentang bagaimana penulis harus bersikap dan seperti apa mereka harus membangun idealisme. Penulis dibentuk oleh zamannya masing-masing. Pada intinya, penulis adalah saksi sekaligus pencerita sebuah zaman lewat ruang privatnya masing-masing. Yang paling penting untuk kita upayakan adalah menjadi jembatan jernih bagi ide menyeberang ke kata-kata. Semoga Anda memahami penekanan saya. Jembatan yang saya maksud di sini hanya membentang dari benak ke kertas. Bukan dari benak Anda ke benak pembaca. Benak mereka sesungguhnya bukan teritori Anda lagi.

 

Karenanya, dari tiga tahap di atas, tahap pertama adalah yang utama. Mengapa? Tahap dua dan tiga hanyalah penempaan lebih lanjut. Untuk menempa, dibutuhkan sesuatu terlebih dahulu. Di ruang privat saat kita bertarung dengan halaman kosong, kita adalah pengrajin yang mewujudkan sesuatu dari ketiadaan. Pengukir awan.

 

Demikianlah adanya seorang penulis, bagi saya.

Tags:

23 Comments

  • Rangga Diyarto

    11.08.2015 at 19:27

    Dee masih dan mungkin akan terus menjadi penulis terfavorit saya, ada ciri khas dalam cara Dee bercerita di setiap novelnya. Di setiap dialog karakternya yang beragam seakan Dee bisa menjelma menjadi sangat lucu, keren, hangat, bijak, rapuh, dan yang paling saya suka; konyol. Yang paling ajaib adalah bagaimana setiap seri di serial Supernova berbeda cita rasa menyesuaikan kepada karakter utamanya. Sifat, tingkah laku, kisah hidup dan pola pikir Etra, Bodhi, Zarah dan Alfa membawa cita rasa tersendiri pada seri yang sedang disuguhkan, tapi entah bagaimana, kita akan tetap tahu siapa Chef di balik kelezatan yang beraneka tersebut, bahkan ketika saya membaca Perahu Kertas sekalipun. Ada Dee di sana. lima belas tahun menunggu Supernova terkonklusi adalah kebahagiaan tersendiri buat saya, terutama saat hari-hari pertama melihat Partikel dipampang di toko buku setelah penantian sekian lama. Tetaplah jernih Dee… Itu sampai ke saya dan jutaan Supernover lainnya 🙂

    • Dee Lestari

      12.08.2015 at 10:53

      Thank you so much, Rangga. I like the term “Supernover” 🙂

  • Gani

    11.08.2015 at 15:36

    yang paling saya suka dari penulis adalah kejujurannya,

  • Awal Hidayat

    11.08.2015 at 15:05

    Hampir semuanya adalah yang pernah diulas Mbak Dee kala mengisi kelas creative writing di #Dee’s Coaching Clinic. Saya peserta dari Makassar, terima kasih telah berkunjung. Sempatkan bertandang kembali, tulisan di atas juga menjadi pengingat kembali tentang perihal yang semestinya diperhatikan dalam menulis. “Kitaadalah pengrajin yang mewujudkan sesuatu dari ketiadaan. Pengukir awan.”
    Jadi, tetap jadi pengukir awan, mbak. Keep writing!

    • Dee Lestari

      11.08.2015 at 16:02

      Halo, Awal! Senang berjumpa lagi di sini. Rajin-rajin menulis, ya.

  • mas okis

    10.08.2015 at 20:54

    sangat bermanfaat sekali, serial surel membuka labirin sempit di pikiran saya.
    Selama ini saya hanya terpaku dengan format ‘suka dan tidak suka’ nya pembaca. Tulisan saya sendiri hanya saya baca sekilas tanpa evaluasi lebih mendalam. Idealisme dalam menulis mesti nya memang dirayakan oleh penulisnya sendiri tanpa harus tenggelam ke rimba ekspektasi apresiasi.
    Terima kasih mbak D. ditunggu karya – karya lainnya, terutama Intelegensia Embun Pagi.

  • Sonny Cornado

    10.08.2015 at 14:28

    Kejujuran bahasa Dewi Lestari bahkan sudah saya sukai sejak saya menggandrungi lirik lagu “Satu Bintang di Langit Kelam”. Saya setuju bahwa memang gaya penulisan Dee terasa begitu kontemporer, jujur, tapi tetap asik. Bahkan sangat asik! Membaca artikel di atas seperti baru saja membuka sebuah resep rahasia yang di reveal “sedikit” oleh sang chef. Great work Dee! Selain karya tulismu, saya juga sangat mengagumi komposisi nada dan permainan chord dalam lagu-lagu ciptaanmu. Nggak biasa tapi luar biasa!

    • Dee Lestari

      10.08.2015 at 21:01

      Terima kasih, Sonny 🙂

  • intan permatasuri

    10.08.2015 at 14:18

    Aku suka tulisan Mbak dari SMP. Sekarang umur saya sudah 27 tahun dan masih tetap suka tulisan Mbak. Kalau baca tulisan Mbak (Buku, Cerpen, Blog, dsb), saya seperti ikut ada disana. God Bless You Mbak Dee 🙂

  • Ovi

    10.08.2015 at 10:19

    Jadi ini rahasia dan alasanna, saya ikut tertawa dan terharu saat membaca karangan mba Dee

  • Qori'ah Maghfirotillah

    10.08.2015 at 10:15

    Kak Dee benar. Yang terpenting, dalam hal apapun termasuk menulis, adalah menjadi otentik. And I find it in all your works; song, novels. Dan hal itulah yang menjadikan Kak Dee begitu dicintai.

  • Zaenal Abadri

    10.08.2015 at 10:12

    setiap idealisme ada untuk setiap pemikiran bagi seorang penulis….ide dan gagasan tidak ada yang sempurna sekecil apapun tulisan itulah bakat idealisme yang harus di formulasikan…dan bermanfaat bagi penulis dan bagi pembacanya….salam pena…

  • Dwi rara permata sari

    09.08.2015 at 23:03

    Ada banyak penulis didunia ini.
    Ada yang meski nyastra, tapi enak dibaca..
    Ada yg temanya metropop tp berasa berat dibaca.
    Satu hal yg selalu aku rasakan dari tiap tulisan kak dee adalah :
    Energi yang murni.
    And finaaally i know why. Aku tau kenapa tulisan kak dee bisa terasa begitu jujur . Jauh dari konseptual, tapi terkonsep rapi. Ga banyak tulisan dimuka bumi ini yang meskipun si penulisnya ga mencantumkan nama (anonim), pembaca akan tahu siapa orang yg menulisnya. Kak dee adalah salah satu dr orang2 itu.
    Mungkin karena inilah jawabannya.. Karena kak dee berusaha sejernih mungkin.
    Kadang kalau aku membaca tulisan.. Aku suka menebak2..
    Seperti apa karakter asli penulisnya, sampai bisa menghasilkan karakter pemeran .. Seperti apa sosok cinta yg diidolakan sampai bisa menghasilkan pasangan bagi si pemeran utama..
    Tapi ditiap tulisan kak dee.. Aku ga Perlu menebak2… Karena semuanya begitu transparan… Murni.
    Great kak! Aku selalu mencari energi semurni itu dlm bentuk lagu, tulisan, bahkan hubungan sesama manusia.. And now i know why you seems so special for me..

    • Dee Lestari

      10.08.2015 at 08:21

      Makasih ya, Dwi. This means a lot to me.

  • ainur

    07.08.2015 at 19:31

    Noted. Thank you Dee 🙂

  • Yenny Oktarya

    06.08.2015 at 22:31

    dan tulisan ini pun jujur, jernih, dan jelas. Thank you Dee for always inspiring me.

    GBU

  • Wignya WIrasana

    06.08.2015 at 19:12

    Saya setuju dengan Dee. Idealisme adalah suatu kebebasan. Ketika kita mulai mempertahankan dengan apa yang menjadi ‘nyaman’ bagi kita.

    Saya sering sekali bentrok dengan diri saya sendiri ketika ingin mempertahankan ‘kebebasan’ saya dalam menulis atau justru mengikuti pasar.

  • Agus Dwi Saputro

    06.08.2015 at 16:28

    Idealisme memang menjdi soko guru untuk tegak berdirinya penulis menantang arus realitas kehidupan. Kejujuran yang berbalutkan cinta, peduli, kasih, empati sering dihadapkan pada paitnya kisah namun kegigihan asa di masa silam kini terasa bagi kami.

    Terima kasih untuk setiap kalimat dari segenap gugusan kata kata mba susun yang telah warnai dan menyadari begitu kaya kita semua lepas tertuang dalam kertas itu.

  • kacamuka_

    06.08.2015 at 12:00

    “jembatan jernih bagi ide menyeberang ke kata-kata”

    Sangat – sangat berguna teh jawabannya nuhun 😀
    mulai dapat memahami ruang batasan sejauh mana “tenaga kita harus tercurah”

    Bahwa pada dasarnya keinginan kita untuk menulis adalah menuangkan kegelisahan dengan maksud yang harus tersampaikan 😀

  • Chalista Siahaan

    05.08.2015 at 18:10

    “Emosi jujur itulah yang akan ikut berbicara kepada pembaca. Tapi, di tahap ini kita tidak usah memikirkan siapa-siapa dulu. Pastikan apa yang kita tulis sudah sesuai dengan maksud yang ada di benak. Itu saja”

    Terimakasih Mbak Dee untuk sharing nya. Kebetulan banget beberapa hari ini saya mempertanyakan hal serupa. Sukses terus & GBU 🙂

  • Burhan Sanusi

    05.08.2015 at 13:47

    Bagi saya, karya Dee sangat menarik yang sudah menyita waktu ku untuk terus membaca karyanya. Dengan bahasa yang sederhana tapi mampu membuat saya tertawa lucu, sedih dan seperti melihat diriku ada dalam cerita-ceritanya. Tidak berat untuk menerima pesan apa yang tertulis disetiap karya Dee dan barisan kata itu telah berhasil mengajak saya untuk beerpikir. Dan saya menikmatinya, terima Kasih Dee.

    “…Ajarkan aku
    Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
    merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
    Bagun dari ilusi, tetapi tak memilih pergi…”

    • Dee Lestari

      06.08.2015 at 19:47

      Terima kasih, ya, Burhan…