Road to Frankfurt Book Fair 2014

I’m not going to start this posting assuming you all know what Frankfurt Book Fair is. In fact, I assume most of us are not aware of it, or how big its magnitude.

Frankfurt Book Fair is the oldest and one of the biggest international book events in the world. Dated back in 1400, the event has survived over a half of millennia. Setiap tahunnya, ratusan stan dari berbagai negara berdiri di luasnya Frankfurt Messe dan terjadilah perdagangan naskah lintas batas. Apa yang sebenarnya diwakilkan oleh naskah-naskah tersebut? Kisah, ilmu, dan informasi, tentunya. Tapi, yang juga tak kalah penting, adalah budaya.

Dari setiap naskah Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing, jendela pengetahuan dunia tentang Indonesia terbuka semakin lebar. Saat ini, karena terbatasnya jumlah buku Indonesia yang diterjemahkan, boleh dibilang kondisi perbukuan kita gelap gulita di luar sana.

Jika kita melihat begitu banyaknya judul buku menghiasi rak-rak benderang di Gramedia, gulita itu tidak terasa. Tapi, setiap saya diundang ke berbagai festival buku internasional, di sanalah saya mendapatkan kondisi perbukuan kita yang gelap dan terkucil. Setelah bicara berbusa-busa dengan penuh percaya diri di panggung bersama para penulis mancanegara, pertanyaan sederhana seorang penonton, “Where can I get your book?” menjadi pukulan telak yang cuma bisa saya tangkis dengan senyum semanis mungkin sambil berkata, “Unfortunately, it’s not yet available in English.” Skakmat.

Sekarang, ada kabar gembira bagi kita semua. Selain kulit manggis sudah ada ekstraknya, Indonesia akan menjadi Guest of Honor (GoH) di Frankfurt Book Fair 2015. Negara yang menjadi GoH di Frankfurt Book Fair akan mendapat lampu sorot utama. Diberikan ruang sebesar 1800 m2 di lokasi strategis dalam Frankfurt Messe, negara GoH berkesempatan untuk menyulap ruang luas itu menjadi etalase budaya, menampilkan bukan hanya naskah terpilih, melainkan juga tarian, musik, kuliner, dan berbagai bentuk kesenian yang merepresentasikan kekayaan budaya. Jika selama ini stan Indonesia kecil, terpencil, sepi pengunjung, maka menjadi GoH akan mengundang perhatian industri dan masyarakat internasional.

Tahun ini, saya diminta hadir di FBF 2014 untuk menjadi penerima simbolis gelar kehormatan tersebut. Yes, I’m honored, proud, and excited. Yet, I know the darkness has not been lifted yet.

Menjelang FBF 2015 nanti, para penggiat industri buku lantas membuat Komisi Nasional Frankfurt Book Fair sebagai jembatan antara pelaku industri dan Kemendikbud, yang mendapatkan mandat persiapan Indonesia sebagai GoH.

Bayangkan, pe-er bangsa yang seharusnya dicicil selama puluhan tahun tiba-tiba harus dikerjakan kurang dari dua tahun saja. Ratusan naskah dikurasi dalam hitungan bulan dan terjadilah gerakan penerjemahan massal. Do we have enough time? Absolutely not. Do we have enough experience? Apparently not either. The Power of Kepepet? You bet.

Banyak teman-teman penerbit yang mengeluh soal lambatnya birokrasi dan syarat dana subsidi penerjemahan yang menyulitkan. Belum lagi segelintirnya jumlah penerjemah berkualitas yang membuat tekanan waktu ini semakin tidak bersahabat. Menjadi GoH akhirnya membuka mata kita akan kenyataan pahit yang selama ini sudah dikeluhkan tapi terus diabaikan: kita tidak pernah cukup peduli akan pentingnya penerjemahan.

I’m also guilty as charged. Penulis tidak berarti cukup tinggal diam dan pasif menerima nasib dan membiarkan penerbitnya berjuang sendiri. Dengan ketersediaan teknologi dan ragam platform yang sekarang tersedia untuk mempromosikan buku, seorang penulis bisa dengan aktif mendorong penerjemahan karyanya. Ingat. Ini bukan semata-mata soal popularitas individual. Setiap naskah adalah jendela budaya. Setiap karya penulis Indonesia akan menambah terang atas remang yang selama ini menjadi kondisi kita. Are we willing to work hard enough to be heard?

Di luar dari legging yang hangat dan bekal bacaan untuk perjalanan panjang ke Frankfurt, saya pun berbenah diri. Membuat website ini, yang sudah menjadi agenda saya sejak lama tapi selalu kalah prioritas, adalah salah satunya. Berbicara lewat corong saya di media sosial tentang FBF dan status istimewa Indonesia tahun 2015, adalah contoh kecil berikutnya. Kita masih bisa menggali ide-ide lain. The way I see it, GoH is a trigger. A wake up call. A bucket of ice water thrown to our face. Kita tidak bisa terus-terusan jadi katak dalam tempurung. Penerjemahan sudah seharusnya menjadi pertimbangan yang diikutsertakan saat kita berkarya.

Jadi, tidak usah tunggu diberi gelar “sastrawan” atau “budayawan” baru kita berpikir soal penerjemahan. Whatever book you’re writing, from literature to cook book, make yourself heard. Put yourself on the map. Write a short synopsis. Share your excerpts. Ask help from friends who can translate if you can’t do it yourself. Create a website, or a blog, anything.

And like everything in life, things may work or not. But at least, we give it a go. In this new borderless world with growing technology, anything is possible.

In case you have extra minutes, here’s my interview regarding FBF with Jakarta Globe: http://thejakartaglobe.beritasatu.com/features/dewi-lestari-fly-flag-worlds-biggest-book-festival/

Catatan: Saat tulisan ini diturunkan, saya mendapat kabar bahwa subsidi penerjemahan yang tadinya disudahi bulan November 2014 akan diperpanjang hingga tahun depan. Kabar gembira berikutnya sambil menunggu kulit duren diekstrak!

7 Comments

  • Eka Darmayanti

    16.06.2015 at 07:48 Balas

    Saya pembaca buku yang cukup rakus terutama non fiksi (pengarang fav saya skrg ini selain Dee, al. Crichton dan Deepak Chopra).
    Saya kira, Indonesia masih kekurangan penulis, apalagi penulis berkualitas masih bisa dihitung dengan jari lah. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Dee Lestari 🙂 Kehidupan dan budaya di Indonesia cukup banyak memberi inspirasi namun penulis2 kita (fiksi dan non fiksi) kbanyakan kurang riset sehingga tulisan2 nya terasa dangkal. Bahkan dalam satu buku itu hanya membolak balik kata dan kalimat yg sbnrnya bs disampaikan hanya dlm 1 bab tapi diputar2 dan berpanjang2 jadi satu buku… cape deh. Aduh saya sok tau banget ya, padahal sy sendiri belum pernah serius menulis. Ini comment sy berdasarkan pengalaman membaca buku2 lokal dan luar. So, saya kira sblm aktif menerjemahkan ke bahasa lain kita harus ada upaya meningkatkan kualitas tulisan para penulis lokal agar dapat berkompetisi dgn penulis dr luar. CMIIW, Mohon maaf kalau tidak berkenan.

  • Benny Saputra

    10.11.2014 at 10:38 Balas

    Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya selaku penikmat karya2 Mbak Dee mengetahui berita ini, semoga kelak karya2 Mbak Dee yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dapat membuka mata dunia terhadap Indonesia, bahwa Indonesia memiliki Penulis yang karyanya tidak kalah gemilang dan cemerlang, bahwa Indonesia punya potensi unggul walaupun ditengah2 carut marut birokrasi yang tumpul.

    Saya ingin mengucapkan terimakasih atas terbitnya gelombang yang sudah ditunggu selama 2 tahun dan kembali tidak akan bosannya saya menantikan IEP, kayanya saya dibuat sakau dengan setiap kata yang Mba Dee torehkan ke Supernova.

    I Love U Mba Dee(gak pake bohong), kamu adalah Dewi Isthar ku.

    • Dee

      01.12.2014 at 07:44 Balas

      Many thanks for your kind words 🙂 Tidak mudah menerjemahkan dan memasarkan karya-karya penulis Indonesia ke dunia, tapi mudah-mudahan FBF menjadi titik tolak yang menjanjikan.

  • Rini Rose Sarini

    06.11.2014 at 11:11 Balas

    Dee..i ve started writing in english and indonesian languange sure since i ve been staying at 2nd year of junior school. i ve written many stories at full common book that used by student for their school lesson.
    there they are at my old blog..
    http://rosesarini.blogspot.com/?zx=cf1daa9fac88555f
    help me dee..email me at loverini2@gmail.com

  • Archieta

    14.10.2014 at 10:06 Balas

    Permasalahan penulis salah satunya MALAS. Saya berharap nantinya malas bisa diekstrak kemudian diledakkan di angkasa. Saya sendiri pun sedang belajar untuk tidak mengekang diri dalam tulisan berbahasa Indonesia. Saya rasa masyarakat Indonesia cukup cerdas untuk ‘tidak menghakimi’ tulisan – tulisan penulis Indonesia dalam bahasa Inggris. Menurut saya, nasionalisme juga berarti berani berkarya di kancah global dan dengan bangga mengaku : Saya orang Indonesia !

    You’re so inspiring as always Mbak Dee :p

  • Kharis

    11.10.2014 at 23:43 Balas

    Semoga 2015, Indonesia beneran jadi sorotan dunia. Saya juga baru sadar untuk menulis cerita lokal yang di kemas dalam bahasa Inggris. Oh Ya, apa buku Mba Trinity yang “The Naked Traveler, Across the Indonesian Archipelago” bakal di pajang juga?

    oh ya, semoga band band Indie yang bagus juga bisa tampil, munculin budaya musik sekalian bukan hanya tarian atau lagu daerah.

    SUKSES Kak DEE

  • rahmatsemesta

    11.10.2014 at 11:22 Balas

    Wah, berarti penulis pun tidak boleh malas menerjemahkan kebudayaan Indonesia dalam kata..

    Buku boleh jadi jendela dunia, tapi bila kita menutup “rumah sendiri”, susah rasanya mengharapkan dunia melongok kita dari jendelanya..

    Sambil menunggu ekstrak kulit domba garut, boleh kita turut membuka tirai “rumah” kita. 🙂

Post a Comment