Kesantunan Bersurat

Sebelum menulis artikel ini, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya:

 

ini manajemen dewi lestari? kita mau ngundang jadi pembicara. boleh tahu brp biaya? trmksh.

 

Pesan singkat itu melempar ingatan saya ke beberapa waktu lalu di Twitter, ketika sempat terjadi pembahasan hangat cenderung panas tentang tarif seorang penulis terkenal yang diundang ke sebuah festival penulis sebagai pembicara. Pembahasan itu terpecah menjadi dua. Pertama, meributkan besaran tarif sang penulis yang dianggap terlalu mahal. Kedua, meributkan tindakan panitia yang mengunggah dan menyebarkan percakapan WhatsApp tersebut. Sebagian orang menilai tindakan panitia tersebut tidaklah etis.

 

Meski tidak ikut membahasnya panjang lebar di Twitter, saya termasuk yang terganggu tentang perihal kedua. Isu itu menyentil puncak dari tumpukan unek-unek saya perihal etiket surat-menyurat yang selama ini saya amati dan alami sendiri. Unek-unek yang terwakili sempurna oleh pesan singkat yang pernah saya terima beberapa waktu lalu:

 

ass. kl kmi mw minta mba dewi ngisi acara di kampus gmn caranya? bls ea.

 

Tidak ada salam pembuka yang memadai. Tidak ada identitas pengirim. Tidak ada keterangan institusi apa yang ia wakili. Baris-baris singkat itu hanya ditutup oleh keterangan merk smartphone yang ia gunakan. Seolah-seolah saya baru saja berkomunikasi dengan Oppo.

 

Sepanjang pengalaman saya menangani langsung urusan pekerjaan dan surat menyurat, tak terhitung banyaknya saya menerima surat bernada sejenis, dengan etiket satu-dua derajat lebih baik atau lebih buruk daripada contoh-contoh di atas. Kenyataan itu membuat saya bertanya-tanya, ke mana minggatnya kesantunan bersurat? Apakah itu telah hilang dari kurikulum sekolah? Apakah itu telah hilang dari ingatan banyak orang? Apakah kebiasaan pesan singkat, update status, chatting WA, telah menggusur tata cara komunikasi tertulis yang benar dan sopan?

 

Pilihan saya untuk mengurus pekerjaan tanpa perantara mendorong saya untuk membangun garda pertahanan dimulai dari tahap komunikasi paling awal. Satu hal yang saya pegang dan telah saya buktikan dari pengalaman adalah, cara kita berkomunikasi seketika membentuk persepsi pertama akan level profesionalisme kita, dan itu jugalah yang akan membentuk dinamika kita dengan pihak lain pada tahap-tahap berikutnya.

 

Ilmu surat menyurat saya bisa jadi bukan yang paling sempurna. Kamu bisa dapatkan info lebih lengkap dari buku teks pelajaran Bahasa Indonesia atau lewat penelusuran Google, tapi berikut ini adalah hal-hal dasar yang selalu saya lakukan dan saya anjurkan demi menciptakan kultur komunikasi tertulis yang lebih beradab:

 

  1. Buat suratmu dalam TIGA bagian: Salam Pembuka – Isi Pesan – Salam Penutup. Ketiga bagian itu dipisahkan oleh SPASI. Jangan bikin suratmu dalam format pesan singkat yang sambung menyambung meski kamu menulisnya lewat smartphone. You’re about to deal with someone professionally, so show some professional attitude. Don’t be lazy.
  2. Beri tahu identitasmu dengan jelas. Jika kamu mewakili institusi (organisasi, kampus, fakultas, apa pun), beri informasi tentang institusi yang kamu wakili dan apa kapasitas atau jabatanmu.
  3. Beri tahu bentuk kerjasama dan partisipasi yang kamu harapkan selengkap mungkin sejak awal. “Kita mau ngundang untuk ngisi acara” is a vague, unattentive, and simply unprepared way to deal with anyone. Acara apa? Mengundang sebagai apa? Siapkan penjelasan memadai kepada pihak lain tentang konteks undanganmu supaya suratmu tidak terkesan setengah matang dan asal-asalan.
  4. Beri tahu detail acara selengkap mungkin sejak awal. Kalau pun gedungnya belum ditentukan, kamu bisa beri tahu kota apa. Kalau pun tanggal belum ditentukan, beritahulah perkiraan bulan apa. Kalau pun jamnya belum dipastikan, beritahulah ancer-ancer siang atau sore. Dan, satu lagi detail penting (yang sialnya paling sering dilewatkan) adalah berapa durasi waktu yang kira-kira perlu dialokasikan oleh pengisi acara. Kadang, panitia menyebutkan jam keseluruhan acara tanpa ada informasi berapa tepatnya waktu yang membutuhkan kehadiran saya. Sementara, untuk bisa memutuskan, saya harus tahu persisnya waktu yang perlu saya alokasikan. We’re not just trading service, we’re also trading time. Even when there’s no money involved, there must be a time investment. 
  5. Hindari menulis dengan singkatan dalam bersurat. Dan, demi dewa, jangan pernah gunakan singkatan gaul seperti “ea” untuk menggantikan “ya”, “mw” untuk “mau”, dsb.

 

Banyak juga yang setelah satu-dua kali berkirim surel dengan saya lalu mengusulkan pindah jalur: “Mbak, boleh nggak saya minta nomor teleponnya? Kita ngobrol di WA aja biar gampang.” I always said no. Deal with me through e-mail first. Setelah ada kesepakatan resmi, maka urusan teknis menjelang hari H dan komunikasi kecil-kecil bisa ditangani via SMS atau WA. Namun, sebelum kesepakatan itu terjadi, saya menjaga struktur formal lewat surel. Mengapa?

 

Pertama, komunikasi tertulis via surel lebih mudah ditelusuri ketimbang WA yang lebih mudah tenggelam dan lebih rentan terhapus. Kedua, ada dokumentasi tertulis bagi kedua belah pihak sehingga jika terjadi miskomunikasi lebih mudah untuk kita telusuri. Ketiga, pesan singkat dan WA memiliki level urgensi lebih tinggi untuk cepat direspons, yang membuatnya menjadi cocok untuk keperluan teknis seperti penjemputan di bandara, status posisi kita pada hari H, dsb. Sementara, saya tidak ingin digedor-gedor berulangkali untuk hal-hal yang sebetulnya bisa dibicarakan secara strategis dalam satu kali komunikasi.

 

Kak, bisa minta fotonya untuk poster?

Yang resolusinya gede yah.

Ada CV nggak? Makasih.

Ada pantangan makanan tertentu nggak?

Oya. Boleh bantu promo acara kita dong.

Kontrak udah keterima?

Jadinya berangkat sendiri atau gimana?

 

Can you count how many beeps I’d get? Instead, why don’t we sum it all up in one e-mail and save a lot of notification headaches?

 

Lebih berbahaya lagi adalah ketika kita bernegosiasi tarif lewat teks singkat atau WA. Saya juga tidak merekomendasikan bernegosiasi soal itu lewat telepon atau percakapan lisan. Buat saya, pencatatan adalah penting untuk dijadikan pegangan. Setiap saya diajak untuk membicarakan soal tarif lewat chat, saya akan kembali menggiring ke koridor formal lewat surel. Saya siapkan satu halaman berisi informasi lengkap mengenai standard tarif jasa saya serta persyaratan lainnya agar panitia bisa mempelajari baik-baik sebelum menyambung ke komunikasi berikutnya.

 

Kembali kepada insiden panitia yang mengunggah negosiasi tarif dan menyebarkannya. Justifikasi apa pun yang dijadikan pembelaan, pembelajaran publik atau hal lain, perbuatan tersebut tetap saya nilai tidak profesional, bahkan tidak terpuji. Tapi, saya juga menyayangkan pihak manajemen yang meladeni negosiasi sedemikian penting lewat chatting. Memang, komunikasi lewat surel pun bukan berarti tidak terhindarkan dari risiko difoto dan disebarluaskan jika memang ada itikad ke arah sana, tapi jika saya amati dari bagaimana percakapan antara panitia dan manajemen penulis itu terjadi, bisa terlihat struktur komunikasi yang baik dan formal memang tidak pernah dibentuk sejak awal. Remember, how you set your tone in the beginning will shape the onward dynamic.

 

Tentu, tidak semua undangan membutuhkan penanganan serupa. Ketika saya diajak mengisi acara sekolah anak saya, atau mengisi acara keluarga besar, saya tidak mungkin merepotkan orang dengan memaksakan surat perjanjian dan riders. Tapi, ketika saya berpartisipasi secara profesional, maka saya pun mengharapkan komunikasi yang profesional dari pihak pengundang.

 

Dua bulan lalu, saya diundang untuk mengisi acara kampus di salah satu kota di Jawa Tengah. Setelah acara, sembari mengisi waktu sebelum ke bandara, para panitia mengajak saya makan bersama. Salah satu panitia berceletuk, “Kak, ternyata kakak orangnya nyantai kalau sudah ketemu langsung. Waktu kita kirim-kiriman e-mail, kesannya Kakak formal banget. Kami jadi segan.”

 

I looked at him in the eye and said, “Harusnya memang begitu.”

 

It’s true. We’re not buddies. We’re in a formal working relationship, involving time, contract, money, and professional skills to offer. Yes, we hung out in some warung bakso together and took numerous selfies after the event. Namun, ketika kami bertransaksi, saya mengharapkan sebuah koridor komunikasi yang proper. Saya tidak punya masalah dengan formalitas kalau itu akan memaksa seseorang untuk menyusun strategi komunikasinya dengan rapi dan mengerjakan porsi kewajibannya dengan hati-hati.

 

As some of my closest friends would testify, I could be the most informal and laid back person you’ll ever know. Namun,  ada hal-hal yang ingin saya jaga kesantunannya atas rasa hormat dan cinta akan pekerjaan yang saya lakukan. Bersurat dengan baik dan beretiket, adalah salah satu wujud dari hormat dan cinta itu.

86 Comments

  • Darmanto SEO

    28.03.2021 at 17:21 Balas

    Alhamdulillah jadi nambah wawasan bersurat menyurat,terima kasih.

  • Etnawati

    12.11.2020 at 16:20 Balas

    Sore Mbak Dewi,

    Saya ijin membaca ya.
    Terima kasih

    Salam,
    Etna

  • Aditya Muriza

    27.06.2020 at 00:31 Balas

    Alhamdulillah, sejak 2016 hingga sekarang, substansi tulisan ini terasa makin relevan. Saya minta izin untuk share tulisan ini di grup WA tim saya. Terima kasih sebelumnya

  • Gita

    16.09.2018 at 23:59 Balas

    Ijin share yah mbak dee. Tulisannya luar biasa memberi pelajaran bagi saya sebagai orang muda. Terima kasih 🙏

    • Dee Lestari

      18.09.2018 at 14:23 Balas

      Silakan, terima kasih sudah sudi berbagi.

  • maria sherly

    27.06.2018 at 08:07 Balas

    Halo mba Dewi, saya ijin share ya mba..memang orang2 seperti itu banyak sekali di dunia kerja. Ga cuma yang muda, yang lebih banyak experiencenya di dunia kerja juga masih ada yang bgtu.
    Anyway, thanks ya mba buat tulisan ini

  • BaRT

    26.11.2017 at 02:28 Balas

    Setuju sekali dengan apa yang diutarakan oleh mbak Dee di sini.

    Sepertinya saat ini banyak sekali orang yang perlu diingatkan soal berkirim pesan yang santun, apalagi jika itu berada dalam koridor pekerjaan. Semacam penjajakan kerjasama, penawaran dan sebagainya.

    Dalam beberapa kesempatan saya juga sering menerima email yang agak kurang pas, baik dalam susunan maupun bahasanya. Padahal email tersebut terkait dengan ‘kemungkinan’ kerjasama. Biasanya sih kalau misalnya sedari awal sudah merasa kurang pas, saya tidak akan lanjutkan lebih jauh. Karena dari pengalaman yang sudah-sudah, urusan surat menyurat awal itu ada korelasinya dengan profesionalisme selanjutnya.

  • Nur Rulita Putri

    03.09.2016 at 00:49 Balas

    Mbak Dewi,

    Saya ijin untuk share tulisan ini,
    Karena menurut saya ini merupakan tulisan yang berguna untuk generasi muda zaman sekarang yang kerap terburu-buru dan serba instan sehingga mengaburkan keharusan antara menulis pesan dalam ranah profesional ataupun dalam ranah pertemanan.

    Terima kasih, mbak.

  • shinta riani

    18.08.2016 at 23:38 Balas

    Halo kak. Aku izin share ya, aku rasa ini penting buat disebarkan dan dikasih tau ke semua orang. Karena sekarang realitanya banyak yang ceroboh dalam hal berkomunikasi. Sehingga mengabaikan dengan siapa dan bagaimana situasi saat mereka berkomunikasi tersebut. Terimakasih kak 🙂

  • Halomuda

    22.06.2016 at 23:51 Balas

    Mantap banget bahasan tentang kesantunan bersuratnya mbak, semoga blognya makin keren tulisannya. 🙂

  • Sony Adam S

    20.06.2016 at 10:30 Balas

    Selamat pagi,

    Saya ingin bertanya perihal email mbak dee/manajemen karena ada suatu hal yang ingin saya tanyakan/tawarkan (bisnis) yang mungkin mbak dee berkenan dan sepertinya tidak etis kalau disampaikan sebagai komen disini. Mungkin bisa di-email ke email saya, crossfaz@gmail.com.

    Terima kasih.

  • Titin Maghfirotus S

    11.06.2016 at 10:24 Balas

    “Bersurat dengan baik dan beretiket, adalah salah satu wujud dari hormat dan cinta itu”
    Salam Cinta buat Ibu Suri!!!
    Terimakasih atas ilmu-ilmunya yang selalu mencadi candu bagi para penikmatnya.
    Tulisannya sangat bermanfaat. Izin di Share ya Mbak Dee…
    Semoga selalu menginspirasi.

  • Hanifah

    03.06.2016 at 21:38 Balas

    Halo Mbak Dewi,
    Terima kasih atas tulisannya, Mbak. Saat ini saya sedang menyelesaikan kuliah saya dan tulisan Mbak Dewi mengingatkan (kembali) pentingnya kebiasaan dan tata cara penulisan formal. Tentu saya hampir selalu menghadapi hal ini terutama ketika mengurus berbagai dokumen kegiatan ekstra kurikuler dan berkomunikasi dengan para profesional, dari jaman sekolah sampai sekarang ini.
    Saya merasa cukup beruntung, karena walaupun masih terus merasa harus belajar lagi dan lagi, saya tidak menemui kesulitan berarti mengenai penulisan formal. Hal ini tidak lain karena,
    1. Orang tua saya sedari dulu menggunakan bahasa formal dalam penulisan pesan kepada anak-anaknya, bahkan via sms ataupun whatsapp sekalipun. Hal ini membuat saya terbiasa akan struktur dan kosakata penulisan formal.
    Contoh: orang tua menggunakan kata ‘saya’ sebagai kata ganti orang pertama, menyebut salam, menggunakan kosakata semisal ‘usai’, dan lain-lain.

    2. Faktor yang bisa jadi penting terutama bagi anak-anak muda adalah mengenai anggapan teman-teman seusianya. Tidak jarang teman-teman saya menempelkan cap ‘serius’ buat saya. Karena, meskipun saya sudah menggunakan bahasa informal (menurut saya) saat berkomunikasi santai dengan mereka, belum tentu penulisan saya dianggap santai atau informal bagi mereka. Tetapi, menurut saya kalau tidak ‘parah-parah’ amat, tidak perlulah ada cap-cap yang men-discourage niat dan perilaku baik seseorang.
    However, di atas anggapan bagi seseorang tersebut, yang lebih penting lagi adalah bagaimana seseorang memilih menanggapi anggapan teman-temannya. Saya rasa tidak ada yang baik atau buruk disini karena semua bergantung pada situasi dan kondisi masing-masing orang, tetapi alangkah baiknya jika anggapan orang lain tidak menjadikan seseorang (seperti yang saya sebut di atas) ter-discourage dalam melakukan hal baik.

    Selain kedua faktor di atas tentunya masih ada banyak faktor lainnya yang berpengaruh bagi saya, seperti kebiasaan membaca, frekuensi dari menulis secara formal, dan minat saya terhadap bahasa. Tentu bagi orang lain faktor dan caranya sangat mukin berbeda dan lebih beragam. Semoga saya boleh membagi pengalaman saya ini mengenai hal terkait.

    Terima kasih Mbak Dewi, semoga kakak bisa membantu saya dan teman-teman lainnya memahami dan meningkatkan kemampuan dalam kepenulisan formal. Yang jelas saya sendiri merasa termotivasi (berkenaan dengan faktor nomor 2) dan ingat untuk meningkatkan kemampuan dengan mengacu pada referensi dan guide yang ditulis oleh Mbak Dewi.

  • Prasetyo Nugroho

    03.06.2016 at 16:07 Balas

    Halo Mbak Dewi,
    artikelnya bagus nih. Saya jadi ingat kata Pak Koes Hendratmo kalau anak jaman sekarang banyak yang kurang sopan ketika berkomunikasi dengan orang tua.
    Perihal surat menyurat, dulu saya pernah les bahasa Jerman dan salah satu test nya adalah membalas surat, ada surat yang formal dan tidak formal, dan sepertinya perlu juga ada soal surat menyurat di ujian bahasa Indonesia.
    Dan quote dari Kingsman sepertinya seru juga untuk diingat: “Manners maketh man”

  • yaniiniyani

    02.06.2016 at 00:54 Balas

    betul banget mbk…. sya jg punya pengalamn mis komunikasi, mksih tips ny, ntr dicoba 🙂 biar gak dimarahin bos lg

  • Adnan Rahmadi

    29.05.2016 at 19:23 Balas

    Halo Ba Dewi,

    Benar sekali Ba, kebetulan saya penulis buku anak. Jadi saya selalu membiasakan menulis baik di WA, SMS apalagi email kecuali twitter 🙂 dengan EYD.
    Ternyata pembiasaan ini sangat bermanfaat di saat kita menulis buku. Salam dari keluarga kami semoga Ba Dewi sekeluarga selalu diberkati Tuhan YME. Amin

    • Dee Lestari

      30.05.2016 at 10:00 Balas

      Saya juga biasanya santai sih kalau di Twitter 🙂

  • Fitry Suhair

    28.05.2016 at 15:30 Balas

    Jadi ingat pengalaman beberapa bulan lalu. Bukan dalam bentuk email atau surat, tapi undangan pernikahan. Seorang teman menyebarkan undangan pernikahan lewat status di facebook yang bunyinya kurang lebih,

    “Buat teman2 SMP … atau yang kenal dengan … datang ya ke acara nikahannya. Hari … tanggal … jam … di …. Ditunggu kehadirannya ya…”

    Lengkap dengan tulisan yang disingkat-singkat dan di-tag beramai-ramai. Sontak tercengang. What’s wrong with her? Atau sayanya saja yang berlebihan? Apa tidak bisa mengundang dengan cara lain yang lebih sopan, atau minimal diperbaiki tata bahasanya? 🙁

  • Dian Farisa

    27.05.2016 at 20:09 Balas

    Wah, ini baru argumen yang paling saya butuhkan.

  • Ahmad Faris

    26.05.2016 at 10:22 Balas

    Terimakasih untuk Tulisan ini kak Dee.
    Saya sebagai pelajar dan penulis pemula merasa tersadarkan oleh tulisan ini, saya setuju bahwa kesantunan dalam berkomunikasi itu sangat penting dan mungkin harus ditingkatkan kembali kepada generasi kami ya kak.
    Semoga tulisan ini dapat menyadarkan kami dalam etika berkomunikasi.
    Terimaksih kak Dee 🙂 jadilah terus sebagai inspirasi kami ya.

  • Hidayah Sulistyowati

    26.05.2016 at 07:37 Balas

    Karena kebiasaan sembarangan, suka bikin singkatan yg tidak baku saat chatting. Hingga malas menuliskan kaidah penulisan surat seperti yang diajarkan saat sekolah. Atau apakah karena kurikulum sekarang yg terlalu kompleks, jadi pelajaran penting seperti Bahasa Indonesia justru diremehkan? Dan hasilnya sekarang makin sedikit orang yang peduli kesantunan saat berkomunikasi lisan dan tulisan.

  • Giffary Pramafisi S

    25.05.2016 at 18:18 Balas

    Jadi teringat akan almarhumah dosen tercinta di kampus. Beliau pernah menegur kamu seangkatan perihal sopan santun komunikasi dengan dosen. Beliau selalu menekankan bahwa kepintaran tanpa attitude sama saja dengan nol

  • Mikael

    25.05.2016 at 16:31 Balas

    Setuju sekali dengan tulisan ini.
    Meskipun sekarang saya sudah tergolong senior di industri tempat saya bekera saat ini, saya tetap mengutamakan bahasa yang baik dalam komunikasi, baik komunikasi langsung via telepon atau pertemuan, maupun tertulis seperti email dan sms/chatting. Sekalipun lawan bicara saya adalah orang yang jauh lebih junior daripada saya.
    Saya adalah tipe orang yang masih minta ijin dulu untuk menelepon ke HP di saat baru berkenalan dengan orang via email, menanyakan waktu yang tepat untuk menghubungi dia. Saya tidak nyaman dengan orang-orang yang langsung main chatting di whatsapp begitu saja padahal belum pernah berkenalan atau bertemu sekalipun.
    Hal seperti ini selalu saya tekankan kepada adik-adik yang saya bimbing di kantor supaya mereka terbiasa dengan komunikasi yang baik. Dan benar seperti kata Mbak Dee, hal-hal penting seperti kontrak, negosiasi harga, memang harus ada bukti tertulis via email. Sekalipun deal dilakukan via telepon, saya selalu menuliskan sebuah email sebagai rekap hasil pembicaraan via telepon dan meminta konfirmasi yang bersangkutan via email sekali lagi.

    • Dee Lestari

      26.05.2016 at 10:00 Balas

      Makasih sudah berbagi pengalamannya juga 🙂 E-mail rekap itu juga penting dijadikan kebiasaan berkomunikasi.

  • Dewi Surani

    25.05.2016 at 16:11 Balas

    Tulisannya mewakili keprihatinan saya sebagai alumnus jurusan bahasa dan sastra, Mbak Dee. Kesantunan berbahasa memang bukan hal yang saklek, melainkan sangat relatif, tidak ada ukuran pasti untuk menentukan mana yang santun dan tidak. Butuh kepekaan tinggi terhadap lingkungan untuk dapat bertindak “empan papan”, termasuk dalam berbahasa. Semoga tulisan ini menginspirasi banyak orang. 🙂

  • Ninien

    25.05.2016 at 16:04 Balas

    Hi Mbak Dewi,

    A very nice sharing. Thank you for sharing the things that I’ve been thinking all a long. Terpampang nyata :).

    Saya sebagai recruiter sering kali menemukan, ‘anak sekarang’ yang untuk mendapatkan kerja untuk masa depannya juga ogah buat memberi extra effort untuk at least menulis sesuatu di emailnya. Isi cuman subject atau bahkan kosongan dan diisi attachment ijazahnya. Apakah kami para recruiter semacam ahli kebatinan yang bisa menduga apa isi hati mereka? Mau apply untuk posisi apa dsb. Saya faham sih bahwa generasinya sudah beda, tapi saya rasa tatakrama juga tetap harus dijaga dengan baik. Belum lagi singkatan-singkatan yg ajaib & sulit dinalar. Dan … anak sekarang (usia 22-23) malah ada berani panggil recruiternya dengan nama. Pas ditanya, cuman cengar-cengir gabisa kasih jawaban yg jelas. *elus dada*

    Anyway, this topic is so obrolable takutnya ga rampung2 nulisin curhatan seorang recruiter di sini heheheh … Keep on writing!

    • Dee Lestari

      25.05.2016 at 16:24 Balas

      (((Ahli Kebatinan))) 🙂 🙂
      Iya betul sekali, saya juga beberapa kali menerima surel yang tidak diisi Subject. Haduh.

      • Ninien

        25.05.2016 at 16:53 Balas

        ahli kebatinan apanya dukun ya?? ahahahaha … *tabik kepada nyonyah dukun*

  • Dewi Sulistiowati

    25.05.2016 at 14:29 Balas

    Terima kasih Mbak Dee. Artikelnya sangat bermanfaat. Anak-anak sekolah dasar masih diajarkan membuat surat, entah kalau level SMP atau SMU. Semoga terbawa sampai mereka besar, cara membuat surat yang baik dan sopan.

  • Temmy

    25.05.2016 at 12:50 Balas

    Halo mbak Dee…,

    Saya setuju sekali dengan hal-hal dasar yang mbak tuliskan dalam menciptakan komunikasi yang baik. Hal tersebut menjadi suatu pembelajaran untuk kita agar dapat lebih menghargai segala bentuk komunikasi verbal yang kita bangun.

    Saya teringat sewaktu saya masih kuliah, untuk menghubungi dosen saja saya lebih memilih untuk bertemu dan bertatap muka secara langsung, sebab bagi saya berkomunikasi dengan cara bertemu langsung lebih menunjukkan rasa hormat kita terhadap orang lain. Nah dengan kecanggihan teknologi saat ini seharusnya semakin memudahkan kita untuk berkomunikasi, akan tetapi yang terjadi adalah kita sering tidak mengindahkan aturan, tata krama, kesopanan dll dalam menjalin komunikasi memanfaatkan teknologi yang ada. Suatu pengalaman lucu sekaligus membuat saya sedikit marah adalah pada saat mahasiswa saya menuliskan pertanyaan seputar tugas pemrograman dengan memberikan potongan programnya via Messenger suatu social media, dengan alasan urgent dan putus asa karena programmnya tidak bisa running. Disini saya menjadi berpikir apakah saat sekarang ini orang sudah tidak lagi peka terhadap keadaan orang lain yang diajak berkomunikasi? Mudah-mudahan lewat tulisan-tulisan bermanfaat seperti ini (yang pastinya juga akan di-share oleh banyak orang hehehehehe … ) menjadikan kita (termasuk saya) untuk lebih menghargai dan mau untuk mengerti bagaimana cara berkomunikasi yang baik, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.

    “Write to be understood, speak to be heard, read to grow.” – Lawrence Clark Powell

    Salam hormat (“,)

    TJP

  • Muhammad Mifta Hasan

    25.05.2016 at 11:11 Balas

    Saya sangat setuju dengan tulisan Mbak Dee terkait etika penulisan dalam berkomunikasi. Mungkin banyak yang merasa, itu bukan suatu hal yang penting, padahal sebaliknya. Kira-kira bagaimana ya Mbak, biar “virus” ini tidak menyebar? Apa perlu tambahan pelajaran Bahasa/Sastra di Sekolah ya?

    • Dee Lestari

      25.05.2016 at 12:54 Balas

      Zaman saya sekolah dulu diajarkan dasar-dasar bikin surat. Entah sekarang. Tapi kalau pun ada, ada baiknya dibuat lebih update meliputi surat elektronik.

  • Resti

    25.05.2016 at 10:11 Balas

    Ah, ini. Masalah anak zaman sekarang. Beda banget emang, ya, mbak.

    Saat saya masih kerja di media massa, menghubungi narasumber via WA, SMS, atau surel, sungguh perlu konsentrasi. Saya harus memastikan bahwa salam pembuka saya sudah sopan dan jelas. Salah-salah, malah bisa saja pesan saya tak berbalas. Setelah selesai menulis pesan pun, saya baca lagi. Bagian mana yang kiranya perlu diubah, bahkan sekadar untuk pilihan katanya.

    Btw, saya pun pernah menghubungi mbak Dee untuk wawancara di majalah saya dulu. Alhamdulillah lancarrr, hehehe..

  • Idris Sopian Ahmad

    25.05.2016 at 01:30 Balas

    Apa pun yang kita tulis, lebih khusus dalam menulis surat tentunya ada rasa/energi pesan yang disampaikan oleh penulis. Etika menulis menjadi penting untuk menjaga rasa supaya energi yang tersampaikan adalah energi positif. Semoga kita bisa menjaga rasa. Aamiin.

  • Winda PrasKrisna

    25.05.2016 at 00:27 Balas

    A very good reminder, Mbak Dee! Gonna bookmarked this one out!

    Hal lain yang juga bikin gemes adalah ketika kita udah ulis sesuatu selengkap mungkin, pembaca nanya lagi hal yang udah tertera di atasnya.

    Biasanya pengalaman jual-beli online nih hehe.

    Mau menulis dan teliti membaca. Dilanjutkan dengan cerdas bertanya. Bakal menghemat waktu (dan emosi kita) pastinya 🙂

  • Fahmi Ilmansyah

    24.05.2016 at 14:52 Balas

    Baca artikel & komentar-komentar ini saya jadi inget ketika dulu saya mempersilahkan peserta kuliah saya mengumpulkan tugas lewat email. Dari 13 surel, 7 diantaranya kosong (tidak ada kalimat pembuka, penutup atau bahkan isi surat – yang ada hanya alamat pengirim dan file lampiran), dan 2 tidak mencantumkan judul. 6 surat yang sudah sedemikian rupa diusahakan supaya ditulisi itupun, panjangnya tidak ada yang lebih dari satu kalimat.

    Efisiensi dan dekadensi (kemalasan, ketergesa-gesaan, kekurang disiplinan, kekurang ajaran, dsb) menurut saya adalah dua hal yang berbeda. Dan nampaknya kita kini sampai di satu titik dimana orang-orang (yang sudah sedemikiran rupa stress – tapi nggak mau ngaku/sadar – itu) menyangka mempersamakannya adalah hal yang berguna.

    Pasti ada hubungannya dengan teknologi, pasti ada hubungannya dengan faktor lain.
    Yang jelas, saya ingat waktu itu saya cukup berang, dan lain kali, kelihatannya saya harus lebih berang lagi :-).

    • Dee Lestari

      25.05.2016 at 08:20 Balas

      Perbedaan antara efisiensi dan dekadensi. Good point, Mi!

  • Fahrul Amama

    24.05.2016 at 12:38 Balas

    Terima kasih Mba, sudah berbagi soal hal yang kelihatannya remeh ini. Terutama bagi generasi hari gini yang hidup di rezim kekinian. Banyak yang abai soal etika berbahasa, dengan tata bahasa yang juga seadanya. Seolah Bahasa Indonesia yang baru berusia 88 tahun ini menjadi barang ‘gak guna’ bagi mereka yang taunya berinteraksi dengan telefon dan pesan di WA. Yang menganggap komunikasi adalah menuliskan satu dua kalimat sebagai status di lini masa. Dampaknya sudah semakin merusak, bahkan saat mereka berhubungan dengan lembaga yang menawarkan masa depan di dunia profesional mereka. Saya pernah membantu HR di kantor saya dalam proses perekrutan untuk beberapa posisi. Banyak yang tidak bisa menuliskan biodata mereka, sesuatu yang sangat krusial dalam melamar kerja. Bahkan untuk yang baru lulus kuliah sekalipun, kita ingin menyimak cerita tentang diri dan potensi mereka. Yang pasti akan langsung terlihat bila mereka bisa menceritakannya dengan baik. Surat menyurat lewat surel pun banyak yang tidak memandang etika sebagai ukuran penting dalam berkomunikasi antara penyedia kerja dan calon pekerja. Cara komunikasi lewat surel yang kacau tentu memberi alasan yang cukup bagi saya untuk menyortir mereka dari daftar kandidat. Pesan dalam surel, yang kelihatannya dikirim lewat ponsel, tak lebih dari pesan singkat tanpa pembuka, tanpa isi, dan tanpa penutup. Seolah pesan itu dikirim sebagai “for your information”, persis seperti status di medsos. “Dear HR. Terlampir CV saya untuk dipertimbangkan. Kasih kabar segera ya.” Rasanya, jangankan membaca CVnya, membuka surelnya pun saya menyesal. 😛

  • Haura Emilia Erwin

    24.05.2016 at 11:28 Balas

    Halo, mbak. Saya penerjemah, jadi sering mengalami hal yang sama. Misalnya, ada yang tiba-tiba email saya dan tanya “Mbak, tarifnya berapa?” atau “Siang, Mbak. Kalo nerjemahin 10.000 kata berapa ya tarifnya dan berapa lama?” Kalau sedang tidak sibuk, saya akan balas dengan pertanyaan mendetail untuk menggali keterangan dari si pengirim email. Lucunya, kadang saya sudah balas email panjang lebar pun jawabannya tetap tidak menjawab pertanyaan, singkat-singkat, dan terkesan malas-malasan. 😀 Saya izin share tulisan ini ya, mbak. Semoga semakin banyak yang tergugah kesadarannya untuk belajar etiket menulis email atau pesan dengan baik dan benar.

    Terima kasih.
    Haura

  • Haryadi Yansyah

    24.05.2016 at 08:34 Balas

    Terima kasih sudah menulis tentang ini mbak Dee. Mengingatkan kembali bahwa bukan hanya prihal kesantunan dalam berkomunikasi -apapun bentuknya, namun efisiensi juga perlu. Saya juga sering kali misuh-misuh terhadap para sepupu yang usianya masih remaja yang sering kali bertele-tele dalam berkomunikasi. “Bang bisa minta tolong?” | “Apa?” | “Bisa minta tolong transfer dulu, ini belanja baju online blablabla”. Sekali dua kali masih oke, belakangan mereka diajarkan untuk komunikasi lebih efektif. “Jika mau minta tolong transfer, langsung saja sebutkan jumlah, nama penerima, no rekening, nama bank dan beritanya apa. Tinggal nanti dibalas apakah bisa bantu atau tidak.” ya ya ya aku jadi abang yang galak hehe, tapi tak apa, biar mereka belajar lebih efektif berkomunikasi dengan banyak orang.

    Omong-omong, salam buat Keenan. Terakhir ketemu di Gramedia Palembang Square main-main sama Keenan. Seru 🙂

    • Dee Lestari

      24.05.2016 at 10:50 Balas

      Setuju, efektivitas itu penting untuk dibangun agar perhatian kita tidak tercuri oleh belasan pesan yang harusnya bisa dirangkum dalam satu pesan saja 🙂

  • Ivan Lanin

    24.05.2016 at 00:44 Balas

    Terima kasih atas artikel inspiratif ini, Dee. Saya mengusulkan nama “formula 3P” (Pembuka, Pesan, Penutup) untuk tiga bagian pesan yang Dee sarankan.

    • Dee Lestari

      24.05.2016 at 10:51 Balas

      Ide bagus, Van! Kelak kalau ditulis ulang dalam bentuk lebih komprehensif akan kuterapkan nama formula 3P ini 🙂

  • Rifqy Faiza Rahman

    24.05.2016 at 00:17 Balas

    Salam kenal Kak Dee, saya merupakan salah satu pembaca novel Anda 🙂

    Membaca postingan ini, saya selalu terngiang dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Bapak dan Ibu saya, untuk selalu mengutamakan asas tata krama dan kesopansantunan dalam berbicara dan bersikap. Kehadiran teknologi pesan singkat lewat media SMS, chat, dan semacamnya bukanlah alasan untuk mengendurkan tata krama seperti saat bersikap atau berkomunikasi lewat tatap muka secara langsung. Karena dibiasakan demikian, saya jadi segan bahkan untuk sekadar menyingkat kata-kata yang biasa disingkat untuk meringkas pesan atau menghemat biaya SMS. Bagi sebagian teman, saya dikata aneh dan terkesan formal; lalu saya tanggapi bahwa untuk mencegah mis-persepsi dan menghormati lawan bicara tanpa pandang bulu siapa pun.

    Dan, kebiasaan demikian sangat membantu ketika saya menjalin komunikasi lewat pesan singkat dengan orang yang lebih tua, semisal dosen saya di kampus.

    Tulisan ini mengingatkan saya supaya tetap konsisten untuk senantiasa santun dalam berkomunikasi lewat media apapun. Terima kasih 🙂

  • Aqied

    24.05.2016 at 00:15 Balas

    Saya berusaha bahkan walau di sms atau aplikasi pesan singkat, jika dalam kondisi formal atau tdk mengenal in person lawan bicara, tetap menggunakan bahasa formal. Apalagi email.

  • Muhammad Irsyadul Ibad

    23.05.2016 at 20:00 Balas

    Pelajaran yang berarti sekali. Terima kasih, kak Dee, sudah mengajarkan.

  • Metha Alana

    23.05.2016 at 16:17 Balas

    Hihihi
    Setuju banget mbak Dee…
    Meski kesannya ribet, berasa nulis cerpen dan terlalu kaku bin formal tapi itu semua penting.
    Karena pada dasarnya bisnis is bisnis dan harus secara profesional.
    Sering ngalamin ini dulu pas jaman masih jadi jurnalis, paling repot ketika ngajak janjian narasumber, kadang bingung sendiri gimana mulainya tapi alhamdulillah selalu menerapkan teori salam pembuka – isi- salam penutup.

    Meski kadang balesannya pendek dan gak sebanding sama usaha ‘bikin cerpen’ aka panjangnya penjelasan pas mau hubungin narsum, but at least selalu memberikan kesantunan ^^

    Thanks for the infonya, mbak.
    Hal-hal yang dipandang sepele kayak gini, tanpa sadar sangat berguna.

  • usagi

    23.05.2016 at 15:43 Balas

    Hai Mbak Dewi,,
    setuju sama tulisan ini,prihatin sama cara penulisan surat,
    dikantor aku sering terima email , lamaran kerja dari para pelamar
    kadang foto yang dikirimkan adalah foto selfie,
    isi surat yang belum diedit (mungkin si paelamar mengirimkan surat ini ke beberapa orang)
    surat langsung to the point
    eg : hai Ms kindly my resume please see attachment,,

    mungkin karena generasi skrang adalah genrasi instant,,
    atau karena proses mengirimkan lamaran kerja saat ini mudah,,
    hanya tinggal drop cv , ke email-email perusahaan,,

    beda dengan jaman saya dulu,dimana proses mengirimkan lamaran kerja butuh pengorbanan

    thanks mbak,,untuk tulisannya,,

  • Jay

    23.05.2016 at 14:53 Balas

    Dulu kala di era desktop chatting dan messenger banyak saya temui orang yang malas mengetik sehingga menyingkat-nyingkat salam, sapaan, hingga atribut-atribut obrolan dengan koma dan titik yang berantakan penempatannya.
    Saat itu saya anggap mungkin tak bisa mengetik cepat atau tak bisa mengetik 10 jari.
    Dan malas melakukan sesuatu yang proper, selalu pakai asumsi yang penting yang baca mengerti.

    Kini di era mobile texting dan messenger ternyata sama saja, orang semakin malas mengetik dengan keyboard sentuh yang semakin kecil dibanding keyboard desktop/laptop.

  • Ardiba

    23.05.2016 at 14:39 Balas

    Terima kasih sudah diingatkan untuk berkomunikasi tulisan yang baik. Prinsip 3 bagian surat itu selalu aku pegang untuk menghubungi dosen, baik email, wa, atau pun SMS.

  • Deasy Rizkinanti

    23.05.2016 at 12:34 Balas

    Halo Mbak Dee,

    Saya Deasy, yg dulu pernah kerjasama sama Mas Reza, Mbak Dee & band pas acara buka puasa Schroders thn 2015 di Ritz Carlton PP. Semoga masih ingat ya Mbak 🙂

    Sukaaa bgt sama artikel ini. Semenjak saya pindah kota dan berkecimpung di dunia birokrasi pemerintah, manners in written communication sangat ditekankan, and sometimes i feel that I’m still lacking on this, because communication style between private & public sector is too different, imho.

    Thank you mbak, keep writing and i’ll keep reading 🙂

    • Dee Lestari

      24.05.2016 at 11:00 Balas

      Thank you so much, Deasy 🙂

      • lucyanna nilasary

        25.05.2016 at 15:04 Balas

        Saya ijin share ya mbak dee. Terima kasih

  • Stebby

    23.05.2016 at 11:23 Balas

    Bagi saya, mbak Dee orangnya asyik. Baik secara formal maupun informal. Dan bener banget apa yang ia katakan, ketika kita berkomunikasi dengan seseorang, kita tak hanya sedang berbicara dengan orang tersebut, tapi juga berpapasan dengan waktu yang didonasikan oleh orang tersebut. Jadi hargailah mereka.

    Makasih untuk artikelnya yang keren ini, Mbak.

  • Honey Josep

    23.05.2016 at 11:03 Balas

    hanupis buat pengingatnya Teh II 🙂

  • Ade Kumalasari

    23.05.2016 at 09:24 Balas

    Terima kasih Mbak Dee sudah menuliskan ini.
    Di sosial media sudah sering dibahas, tapi sedikit yang mau mengajari dan memberi solusi.
    Semoga menjadi pelajaran untuk kita semua. Saya minta izin membagikan ya. Terima kasih.

  • Sauna Males Yuk

    23.05.2016 at 08:35 Balas

    ass. kl kmi mw minta…—> seringkali jg dapat salam singkat seperti ini…saya mungkin bukan pakar bahasa asing…tapi klo ad yg memberikan salam dengan singkatan seperti itu…rasanya orang itu sedang memberikan penilaian terhadap (maaf) bokong saya…

    dat ass !!

  • Eki Putranto Wibowo

    23.05.2016 at 08:14 Balas

    Assalamu’alaikum.
    Kakak, saya ingin bertanya.
    sebelumnya maaf ya Kak.
    saya pengin diajarin bagaimana menjadi penulis handal seperti kakak… bagaimana kak kiat2nya? sementara saya sendiri masih sangat minim dalam hal membaca.
    padahal dulu sewaktu SD saya sangat suka membaca, tetapi semenjak saya SMP saya kerja jadi minim membaca. sekarang saya sudah 20 tahun. tapi ketika saya pengin baca pasti saya ketiduran. weleh weleh mengenaskan sekali kan Kak saya ini ….:'(

  • ninit yunita

    23.05.2016 at 08:01 Balas

    teteeeh!
    terima kasih sudah menuliskan ini. selain merasa terwakili juga sebagai pengingat diri sendiri.
    berkomunikasi apapun media-nya harus tetap sopan santun. penting ya teh.

    manners maketh man. 🙂

  • Wildan

    23.05.2016 at 07:21 Balas

    Dulu dosenku mengubah satu jam mata kuliah ekonomi internasional jadi kesantunan dalam membuat email! Persis alasannya kayak gini. Lebih ngeri lagi, yang bikin dia marah adalah nggak sedikit mahasiswa yang ngirim tugas tanpa body email dan juga subjek. Horor. Good article btw!

    • Dee Lestari

      23.05.2016 at 08:21 Balas

      Hahaha… betul, itu horor! 🙂 Inisiatif yang baik dari dosenmu.

  • Chika

    23.05.2016 at 03:22 Balas

    Ini hal yang sering jadi pembahasan aku dan teman-teman ketika menerima email tawaran pekerjaan. Sering banget emailnya pendek dan gak ada kalimat pembuka yang jelas. Bahkan pernah nerima pesan via WA yang langsung ngasih pekerjaan tanpa perkenalan diri.

    Ada apa dengan kemampuan komunikasi dasar jaman sekarang? Apa karena adanya gadget yang mempermudah komunikasi lantas tidak perlu penjelasan terlebih dahulu kalau mengirim pesan? Aku suka geleng-geleng kepala kalau nerima email atau WA macam begitu. :)))

    • Dee Lestari

      23.05.2016 at 08:23 Balas

      Kecurigaanku pun begitu. Mungkin karena kebiasaan chatting, jadi ketika pindah media sekalipun, tata caranya tetap terbawa serupa. Barangkali juga karena penekanan tentang etiket bersurat tidak terjadi di bangku sekolah.

  • Willy Akhdes Agusmayandra

    23.05.2016 at 00:49 Balas

    Well explained Mbak Dee, itu yang juga saya rasakan, bahkan di dunia kerja profesional, dikarenakan sudah saling kenal orang sering melupakan cara berkomunikasi formal untuk urusan-urusan yang seharusnya memang dibicarakan pada jalur formal, bisa jadi kebiasaan menggunakan bahasa chat membuat orang-orang lupa etika berkomunikasi.

  • Aliv Faizal M

    23.05.2016 at 00:18 Balas

    Salam untuk mbak Dee,

    Budaya social media memang telah banyak mempengaruhi gaya bicara dan tulis masyarakat Indonesia. Namun, sehebat apapun pengaruh social media akan tetap dapat difilter dengan fondasi kesopanan dan kesantunan seorang pribadi yang dibentuk dengan baik melalui lingkungan yang berpendidikan, berbudaya, dan beradab baik.

    Tempo hari mbak Dee Lestari mengisi acara seminar penulisan kreatif di kampus kami Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Saya harap, panitia kami tidak termasuk yang bertutur tulis secara tidak seyogyanya.

    Saya sendiri meminta testimoni video selamat ulang tahun untuk istri saya, dan itu tentunya diluar agenda acara. Mohon maaf mbak Dee apabila hal tersebut dirasa kurang berkenan.

    Terimakasih,

    Aliv Faizal M,
    PENS

    • Dee Lestari

      23.05.2016 at 08:24 Balas

      Hai Aliv, nggak ada masalah sama sekali soal video tsb, juga dengan panitia PENS. Saya bahkan bilang berkali-kali ke panitia PENS, bahwa mereka adalah salah satu penyelenggara acara kampus terbaik yang pernah bekerja sama dengan saya. Komunikasi dilakukan dengan santun sejak awal dan kegiatan juga berjalan lancar. Salam buat teman-teman semua, ya.

  • Afra Sausan

    22.05.2016 at 23:01 Balas

    Saya setuju dengan tulisan Mbak Dee di atas. Saya seorang mahasiswa tingkat awal. Banyak dosen yang selalu mengeluh bahwa mahasiswa jaman sekarang kurang memiliki etika dalam mengirimkan pesan. Hal itu betul sekali, terbukti dengan keheranan saya saat teman-teman mengirimkan saya draft pesan sebelum mereka kirimkan ke dosen untuk saya re-check sudah sesuai atau belum. Mereka jarang sekali memperkenalkan diri dan mengucapkan terima kasih. Padahal mahasiswa dosen tersebut bukan hanya dia saja hehehe. Terima kasih untuk tulisannya, Mbak Dee!

  • julajulijuliana

    22.05.2016 at 16:55 Balas

    Terimakasih untuk tulisanya, mbak Dee.
    Bermanfaat sekali.
    Sedikit berbagi pengalaman juga mengenai penggunaan email untuk kerjasama.
    Saya pernah berkirim email dengan seorang pesohor di salah satu sosial media untuk menanyakan berapa biaya endorstment.
    Saya sudah mencoba menulis surel saya dengan kalimat yang sopan dan memberikan informasi yang jelas.
    Namun sayangnya, beliau menjawab surel saya dengan kalimat yang lebih baik bila dikirim melalui chat, bukan surel.
    Saya sedih 🙁

    • Dee Lestari

      23.05.2016 at 08:26 Balas

      Menarik. Jadi, kadang bukan hanya pihak pengundang, tapi pihak yang diundang pun belum tentu punya wawasan tentang tata krama bersurat, ya.

  • tikanian

    22.05.2016 at 11:43 Balas

    Ini dia.
    Pernah kejadian seorang sekretaris GM menelepon saya karena email saya kirim ke GM dengan tembusan email si sekretaris dikatakan terlalu formal.
    Lah ya masa mesti nulis ” Hai pak GM, hari ini lowong kan? Meeting yuk.” Macam mana pula begitu….

    Dulu di kantor bahkan atasan menganjurkan negosiasi via telepon, supaya cepat katanya. Cuma saya yang ngotot negosiasi via email. Ketika kejadian selisih harga, rasanya pengen meluk email negosiasi yang ada di kotak terkirim sebagai rasa terima kasih. Hahahaha…

  • Rusydina Tamimi

    22.05.2016 at 11:41 Balas

    Dulu waktu saya kuliah saya sering mendapatkan komentar2 dosen yang mahasiswanya kurang santun dalam bersms entah hanya menanyakan ada waktu untuk asistensi TA, untuk minta TTD dsb. Dan kebanyakan dosen mengeluh pada mahasiswa baru, dan juga mahasiswa yang berada dibawah tingkat saya. Ya, memang saya akui kebanyakan anak-anak jaman sekarang kurang santun entah dalam bertegur sapa ataupun berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Entah karena perkembangan jaman atau apa tpi sopan santun yang diajarkan guru saya ketika saya masih TK hingga sekarng sepertinya tidak tercermin lagi pada generasi sekarang.

  • Wenny Pangestuti

    22.05.2016 at 10:22 Balas

    Setuju, mbak. Santun berkomunikasi itu penting apalagi dalam ber-sms, e-mail, atau media surat-menyurat lainnya. Saya juga sering mengalami hal serupa walaupun saya bukan orang penting sih he. Contoh, saya kebetulan seorang guru, kadang ada siswa yang sms tapi smsnya terkesan kurang santun, kayak sms ke temannya begitu. Atau, pengalaman yg pernah saya amati di lingkungan kampus antara dosen dan mahasiswa. Gak jarang mahasiswa ditegur dosen karena cara berkomunikasinya via sms yang kurang santun. Semua itu butuh kesadaran penuh dari kita. Tulisan yang bermanfaat, Mbak Dee !

    • Dee Lestari

      22.05.2016 at 11:23 Balas

      Terima kasih 🙂 Itu juga harapan saya. Biarpun kultur chatting tidak bisa dibendung, minimal kita tetap tahu dan menyadari aspek etiket dalam komunikasi tertulis.

Post a Comment