Review: The Life-Changing Magic of Tidying Up

markon-1

 

 

Jika menemukan buku yang menurut kita bagus, apa yang biasanya yang kita lakukan? Merekomendasikan ke teman? Menulis resensi? Cukup sering saya bertemu buku yang bikin saya melintir lalu dengan berbusa-busa saya promosikan ke orang-orang. Tapi, tidak banyak buku yang sampai menggerakkan saya untuk menghampiri penerbit dan berusaha meyakinkan mereka untuk menerjemahkannya. This is THAT book.

 

Buku 224 halaman ini telah terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia. Penulisnya, Marie Kondo, dinobatkan sebagai salah satu 100 Most Influential People of 2015 oleh majalah Time. Namanya bahkan menjadi istilah tersendiri dalam khazanah rapi-rapi (“Have you kondoed your closet?”, “I need to kondonize my library.”)

 

Awal tahun 2015, saya membaca versi Bahasa Inggris-nya di iBooks. I was mindblown. Tak lama, saya pun “menghasut” CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi, untuk mengajukan hak penerjemahan ke penerbit aslinya di Jepang, Sunmark Publishing. Betapa bahagianya saya ketika bulan Agustus lalu redaksi Bentang mengirimkan surel pemberitahuan bahwa buku Marie Kondo akan segera diterbitkan dalam Bahasa Indonesia. Redaksi Bentang menanyakan kesediaan saya menuliskan secuplik endorsement, dan saya pun segera merespons balik, “Jangankan endorsement, resensi panjang juga ayo!”

 

Perlu saya jelaskan bahwa niat saya menulis panjang lebar bukan untuk mendeskripsikan betapa bagus atau serunya buku ini, melainkan untuk menekankan bahwa buku ini penting.

 

Anda punya baju-baju yang sudah tidak dipakai dalam setahun terakhir? Buku-buku yang tidak terbaca? Alat masak yang lama tidak disentuh? Makanan kedaluwarsa? Onggokan majalah dan koran? Tumpukan kertas entah apa? Botol sampo, sabun, dan produk perawatan tubuh lain yang seakan tidak habis-habis? Ceceran pernak-pernik? Kabel-kabel misterius bekas gawai entah yang mana?

 

Tahan jawaban Anda. Pelajari dulu reaksi internal yang terjadi. Mungkin sebagian dari kita tanpa ragu berteriak “YA!” untuk semua pertanyaan di atas. Mungkin sebagian dari kita masih enggan menjawab dan segera mencari pembenaran atas kehadiran barang-barang yang kita miliki, baik yang disadari maupun tidak (“semuanya terpakai, kok”, “semua ada gunanya”, “nggak mungkin dibuanglah, sayang dong”, dst).

 

Don’t worry. We’re all on the same boat. Most of us are. Betul, di luar sana ada jutaan orang di bawah garis kemiskinan yang hidup dengan segelintir barang, tapi saya berbicara kepada Anda. Golongan ekonomi kelas menengah yang bernapas dalam atmosfer konsumerisme dan selalu punya barang baru untuk diinginkan meski sudah punya barang lebih banyak dari yang dibutuhkan. Kondisi itu, ditunjang oleh kesulitan membuang barang, membawa kita ke sebuah pandemi yang saya namakan “obesistuff”. Dari sudut pandang itulah buku ini menjadi penting.

 

Buku ini bukan hanya berbicara soal seni beres-beres meski itulah judul besar yang tertera di kover. Pada level yang lebih dalam, buku ini berbicara tentang awareness akan kepemilikan, dan apa yang harus kita lakukan untuk kembali punya kendali.

 

Marie Kondo bukan orang pertama yang mendalami seni beres-beres. Decluttering sebagai sebuah seni (dan obsesi bagi beberapa orang), sudah cukup sering diulas dan diulik. Nama-nama seperti Francine Jay dan Peter Walsh sudah cukup lama menggaungkan tema decluttering sebelum buku Marie Kondo menggebrak pasar buku dunia. Lalu, apa yang membuat buku ini unik?

 

Marie Kondo, atau KonMari, begitu ia dipanggil (dan juga menjadi nama metode berbenahnya), memang sesosok pribadi yang tidak biasa. Sejak kecil, ia terobsesi dengan rapi-rapi. Ia merapikan kelas, merapikan rumah, merapikan barang-barang setiap anggota keluarganya. Dengan tekun ia mempelajari dan mencoba berbagai teknik decluttering serta metode penyimpanan di luar sana. Tiada ada hari terlewat tanpa berbenah atau memikirkan tentang berbenah. Saking intensnya beres-beres, ia pernah terbangun dengan badan kaku, tak sanggup turun dari tidur dan terpaksa menelepon ambulans. Marie Kondo menduga, ia mungkin satu-satunya pasien dengan rekam medis “kebanyakan berbenah”. She’s that hardcore.

 

Diceritakan dari sudut pandang orang pertama, lewat buku ini kita melihat realitas dari kacamata seorang Marie Kondo. Sungguh, saya terhibur. Entah berapa kali saya tertawa terpingkal-pingkal. Pengalamannya sebagai konsultan berbenah profesional (yes, turns out it’s a profession!) mempertemukan Marie dengan berbagai macam profil klien yang kasus-kasusnya sangat menarik untuk diikuti. Saya bisa melihat profil-profil itu ada di sekitar saya, termasuk diri saya sendiri (Penimbun alat tulis? Hadir! Kolektor buku yang tak terbaca? Hadir juga!).

 

Buku ini akan menuntun kita untuk berbenah dengan urutan spesifik. Buku ini juga mengajarkan bagaimana cara menyimpan baju paling efektif dan cara memperlakukan kaus kaki kita dengan benar. Buku ini akan memberikan inspirasi sekaligus keberanian untuk menghadapi setiap sudut tak tertata, baik itu di kamar, tempat kerja, atau seisi rumah.

 

Namun, buku ini pun mengusik kita untuk merenungkan relasi manusia dengan barang. Buku ini mengajak kita menata ulang dinamika dengan benda mati pada tingkat emosional, bahkan spiritual. Membaca perjalanan personal Marie Kondo tak ubahnya mengikuti proses seorang cantrik yang bertransformasi menjadi seorang empu.

 

Suatu hari, pada puncak frustrasinya karena merasa terus menerus gagal merapikan tempat tinggalnya sendiri, Marie terkapar, marah dan lelah. Saat ia terbangun, secercah ilham menghampirinya. Momen yang barangkali menyerupai epifani. Marie menyadari satu keping yang luput. Selama ini, ia begitu fokus kepada menyingkirkan barang hingga ia mengabaikan sisi lain.

 

“Kita semestinya memilih apa yang hendak kita simpan, bukan apa yang hendak kita singkirkan.”

 

Perspektifnya pun berubah. Ia masih Marie Kondo si maniak berbenah, tapi kesadaran baru telah lahir. Sejak saat itu, fokusnya berganti. Metode KonMari tidak fokus hanya pada membuang barang, melainkan juga mengidentifikasi dan kemudian mempertahankan barang-barang yang membawa kebahagiaan.

 

“Agar bisa sepenuh hati mensyukuri hal-hal yang paling penting bagi Anda, pertama-tama Anda harus membuang barang-barang yang sudah tidak bermanfaat.”

 

Untuk itu, ia mengajak para kliennya merasakan ke dalam, perasaan apa yang ditimbulkan ketika mereka memegang barang tertentu? Jika barang itu sudah tidak lagi menimbulkan rasa bahagia, maka lepaskanlah. Tak lupa, Marie juga mengajak para kliennya untuk berterima kasih kepada barang-barang yang mereka lepaskan.

 

“Semua yang Anda miliki ingin bermanfaat bagi Anda. Kalaupun Anda membuang atau membakarnya, hanya jejak ‘ingin berjasa’ yang ingin ditinggalkannya.”

 

Dengan mempertemukan para kliennya kepada setiap benda di rumah mereka, sebuah elemen baru terpicu hadir di dalam dinamika para klien itu dengan benda yang mereka miliki. Kesadaran.

 

Berapa kali kita membeli sesuatu hanya untuk kemudian melupakannya beberapa hari kemudian? Berapa banyak tumpukan barang yang akhirnya berubah “transparan” di mata kita? Kita tahu barang-barang itu ada, tapi kita tidak lagi melihatnya. Kita bahkan tak tahu kita punya benda apa saja.

 

Marie juga mengingatkan bahwa menata barang agar “tampak rapi”, termasuk godaan untuk memperbesar kapasitas storage (lengkap dengan godaan membeli aneka kotak penyimpanan yang lucu-lucu), seringkali adalah jebakan yang menunda kita berhadapan dengan masalah sesungguhnya.

 

“Menyimpan” adalah istilah yang menjebak. Piawai menyimpan saja dengan menimbun.

 

Bertahun-tahun saya fokus kepada storage. Setelah membaca buku ini, saya sadar bahwa menimbun dengan amat rapi sekalipun tetap lebih mudah ketimbang menghadapi dilema Simpan vs Buang yang harus dilewati dalam proses berbenah. Menyimpan menjadi jalan pintas karena kita menghindari dilema yang kita tak sukai.

 

Pada akhirnya, barang yang kita miliki adalah cerminan pilihan-pilihan kita, termasuk ketidakmampuan kita mengatakan ‘tidak’, baik kepada orang lain maupun kepada impuls kita mengonsumsi. Barang-barang itu sesungguhnya berpotensi mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. The thing is, sometimes we don’t like what we see, and maybe that’s what we’ve been trying to avoid. But, what if there’s something under those unappealing piles? Something fresh, insightful, and perhaps enlightening?

 

Ketika kita berhasil melampaui tantangan itu. Ketika kita berhasil dengan sadar memilih, memilah, melepas, dan mensyukuri, transformasi pun terjadi. Setidaknya itu yang dialami oleh banyak dari klien Marie Kondo, dari yang punya karier baru sampai turun berat badan. Salah seorang dari mereka berkata:

 

“Saya menyadari sesuatu. Mengikhlaskan justru lebih penting daripada berbenah.”

 

Marie Kondo tiba pada esensi berbenah selayaknya seorang Master Zen tiba pada esensi kehidupan.

 

Dari aspek teknis, saya berharap buku ini mengulas lebih detail mengenai metode KonMari untuk menangani lebih banyak variasi barang. Nothing much about kitchen. Nothing much about children’s toys. Dari aspek filosofis, saya juga berharap buku ini bisa membahas bagaimana mencegah penumpukan barang dari fase prakonsumsi, bukan hanya ketika barang itu sudah ada di rumah kita. Mungkin Marie Kondo akan mengulasnya di buku berikut? We’ll see.

 

Buku ini bisa jadi hanya akan mengubah meja kerja Anda sedikit lebih manusiawi. Buku ini mungkin membawa Anda jauh bertransformasi. Sekecil dan sebesar apa pun itu, saya yakin The Life-Changing Magic of Tidying Up akan menjadi salah satu buku paling bermanfaat yang pernah Anda miliki.

 

Penulis: Marie Kondo

Penerbit: Bentang Pustaka

ISBN: 9786022912446

Tahun Terbit: Agustus 2016

 

Processed with Snapseed.

 


 

DeeLestari.Com juga ingin bagi-bagi hadiah bagi pengunjung blog. Silakan tinggalkan komentarmu seputar pengalaman atau perenungan mengenai topik berbenah. Lima pemberi komentar yang paling menarik akan mendapatkan 1 buku The Life-Changing Magic of Tidying Up. Jangan lupa untuk berbagi tautan artikel ini di saluran media sosialmu dan tag @BentangPustaka. Pemilihan pemenang akan dilakukan satu minggu setelah posting ini terbit, dan pemenang akan dikontak langsung oleh pihak Bentang Pustaka. Yang sudah nggak sabar kepingin punya bukunya, bisa langsung klik di sini.

 


 
 

 Pemenang 5 Buku The Life-Changing Magic of Tidying Up:

 

1. Amma Rahmawati

2. Noor Hidayati

3. Erison

4. Benny Saputra

5. Prapti Alpandi

110 Comments

  • Salim Romadhon

    24.01.2022 at 10:38 Balas

    Baru saja dapat rekomendasi untuk baca ini, rupanya mbak Dee yang mengajukan untuk diterjemahkan. Harus cepat-cepat nih.

  • SW. Rosita A

    01.01.2019 at 12:40 Balas

    Hari ini 01-01-2019, hari saya mengawalinya dengan niat berubah menjadi manusia yg lebih positif lagi, tulisan ini berhasil menghipnotis saya untuk segera membeli bukunya. Pertambahan 2 hari lalu nonton youtobe tentang hidup minimalis dan Sechan google tentang buku Marie Kondo dan Nemu tulisan mbak Dee ini jadi makin semangat ni ingin segera menerapkannya………

  • Elfi Rahmi

    02.10.2016 at 12:14 Balas

    Saya termasuk orang yang tidak tega-an dalam memilah-milah barang. Setiap kali berbenah selalu menemukan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi dan rugi untuk membuangnya. Contohnya saat tadi saya beres-beres, saya menemukan dompet lama yang tidak saya gunakan lagi karena bagian luarnya sudah tidak layak lagi, padahal bagian dalamnya masih sangat bagus. Saat itu saya dilema banget. Lamaaaaaaaa banget mutusin untuk lebih baik di buang. Setelah saya pikir-pikir akhirnya saya memutuskan untuk tidak menggunakannya. Itu baru satu item. Gimana kalau ketemu banyak. Hahahaha. Dan saya nggak nyangka ada buku yang membahas tentang hal ini. Mupeng juga pengen bukunya. 🙂 🙂

  • Nina Rokhmawati

    02.10.2016 at 07:19 Balas

    Saya dibesarkan oleh ibu yang suka menumpuk-numpuk barang. Alasannya tentu saja klise, ‘Jangan dibuang, suatu saat siapa tahu kita butuh’. Tentu saja, suatu saat itu tak pernah datang.

    Jangan ditanya, Ibu saya punya satu buah lemari besar yang berisi harta karunnya. Satu lemari pakaian dari jaman ia masih gadis, padahal beliau sekarang nenek-nenek bercucu dua. Baju-baju nya tersimpan di lemari besar, sedangkan baju harian yang biasa beliau pakai, malah masuk lemari kecil yang sempit, bahkan kadang hanya terlipat di meja setrikaan. Ya karena apa lagi. Baju-baju masa sekarang harus mengalah pada baju masa lampau.

    Saya melihat dan memperhatikan hal tersebut hampir seumur hidup saya. Awalnya saya menyangka bahwa hal tersebut bukanlah suatu masalah. Sampai saya menikah dan tinggal di kontrakan petakan yang sempit. Tentu saja, ilmu dari ibu saya ini tidak bisa saya terapkan. Karena tanpa saya sadari, ketika itu terjadi, saya menjadi manusia yang naif yang tidak bisa ‘let go the past’. Gak bisa move on dari kasur lama dekil meski udah dapat kasur baru yang empuk. Kalimat impulsif seperti, “Masih bisa didaur ulang nih jadi kasur lantai yg cantik”, terus menghantui dan membuat kesulitan membuat keputusan. Oh, baru saya sadari, ternyata keikhlasan itu begitu berat, bahkan hanya untuk sebuah kasur butut yang sudah jelek.

    Ada satu titik yang membuat saya sadar, bahwa ini bukan tentang kasur, baju atau benda-benda yang membuat kita stuck dan gagal move on. Ini tentang pikiran kita. Perilaku tersebut menjelaskan bagaimana kondisi mental kita. Orang yang terjebak dikenangan masa lalu dan terseok-seok untuk bisa hidup right in the momment. Hidup disaat ini.

    Kita tidak menyadari bahwa menimbun bukanlah sekedar kebiasaan yang kurang baik, tapi itu adalah PENYAKIT. Penyakit mental. Hidupnya tidak terpusat di saat ini, tapi terbayang-bayang dengan kenangan-kenangan masa lalu yang berwujud benda sehingga membuat kita terjebak. Alih-alih tidak bisa move on, kita malah menumpuk, menimbun barang-barang yg merefleksikan kenangan.

    Lalu buat apa??

    Saya pernah dengan sengaja mengambil baju-baju ibu saya untuk kemudian saya berikan kepada saudara atau yang membutuhkan. Ibu saya ternyata adem-adem saja tuh. Kenapa?? Karena Beliau tidak tahu. hahahaha. Jadi benar sekali, bukan masalah barangnya, tapi ketidakmampuan kita say goodbye terhadap kenangan yang tercipta bersama benda-benda tersebut.

    Menimbun bukanlah masalah yang bisa diremehkan. Bukan pula hal yang mudah disembuhkan. Detik ini kamu menyadari kalau itu penyakit, lalu kamu tidak menjadi penimbun lagi??? Tidak semudah itu. Semua ada ilmunya, dan saya sangat bersyukur ada orang seperti Marie yang mau berbagi tentang hal ini.

    Salah satu cara menjadi manusia yang efektif adalah dengan hidup disaat ini. Menimbun, bukan bagian dari itu.

  • anugerah

    01.10.2016 at 17:49 Balas

    Pengalaman saya dlm berbenah sebelumnya dengan skala besar baru pada menyortir lemari pakaian dan lemari buku saja.

    Hasilnya setumpuk pakaian yg masih layak pakai dipilah pilih utk kemudian disumbangkan. Begitupun dgn setumpuk buku komik amerika yg sdh dipilah pilih utk kemudian saya hibahkan kpd salah seorang yg saya anggap punya kontribusi & dedikasi tinggi pada skena komik indonesia saat ini.

    Metode saya dlm berbenah mungkin serupa dengan prinsip ini: “Kita semestinya memilih apa yang hendak kita simpan, bukan apa yang hendak kita singkirkan.”

    Namun kalimat ini “Menyimpan adalah istilah yang menjebak. Piawai menyimpan saja sama dengan menimbun.” jadi membuat saya berpikir ulang prinsip tadi.

    Dua kalimat tersebut terasa kontradiktif, tapi justru itu membuat buku ini jadi semakin menarik.

    Bagi saya, berbenah itu bisa menjadi pintu gerbang utk menyusuri diri kita mengenali kembali tujuan hidup yg bahagia dgn kesadaran penuh.

    Bapak saya sdh overdosis menimbun barang bekas/vintage sehingga timbul masalah di rumah jadi semakin sesak penuh oleh barang2 tersebut.

    Semoga buku ini bisa menjadi jembatan bagi saya dlm membantu beliau menyortir dan berbenah sehingga kami bisa hidup nyaman kembali.

    Terima kasih.

  • Yenni Siti Nuria

    30.09.2016 at 09:03 Balas

    Saya seorang wanita berusia 33 tahun yang sebenarnya suka berbenah. Saya selalu penasaran dengan rumah yang tertata rapi. Bagaimana meng-organize-nya? Saya juga sangat antusias terhadap hal-hal yang baru. Hanya saja saya suka mengingat masa lalu. Kalau barang-barang tersebut menimbulkan kenangan sedih sudah sejak lama saya melepaskannya. Tetapi masalahnya ada banyak barang yang menimbulkan rasa bahagia. Dan barang-barang seperti itu kian menumpuk. Dibuang sayang, tak dibuang -ruangan yang tersedia sudah lampu merah. Bagaimana cara mengikhlaskannya? I love to learn about it.

  • Eva Agustin

    29.09.2016 at 23:46 Balas

    Jujur dalam hal bebenah saya masih belajar akan hal itu karena ya itu kadang saya bebenah asal rapi aja tanpa tujuan lain. Kadang dalam penempatan perabotan rumah pun begitu meskipun saya masih SMA tapi soal bebenah rasanya saya selalu gatal, pasti aja tiap minggu ibu ngomong “ini mau diputer dimana lagi bangkunya ” dan selalu. karena ilmu saya dalam hal ini masih cetek saya hanya terkekeh dan menaruhnya asal namun tidak mempersempit ruangan. Bahkan kadang saya gatal akan barang yang sudah tidak terpakai sering kali saya buang tanpa berpikir panjang, kalau tidak dibuang ya buat lap. karena saya orangnya risih akan hal itu. Dan hal ini menjadi keputusan saya dalam mengambil jurusan kuliah saya .tapi semoga jika saya mendapatkan buku ini, saya bisa lebih belajar lagi tentang bebenah barang dan memanfaatkan kembali barang bekas menjadi lebih berguna yang tadinya belum saya ketahui.

  • Marlianasari Putri

    29.09.2016 at 13:56 Balas

    saya seorang forester, hutan adalah tempat saya bekerja. setiap saya ke lapangan prinsip membawa barang adl sewajarnya. baju yang saya bawa cukup menggunakan prinsip 3 use, satu baju untuk kerja lapangan, satu untuk tidur (biasanya yg dijaga kebersihanya) dan satu baju rotasi (baju ini akan bergantian dicuci dg baju kerja lapangan). Dan, cara ini efektif saya terapkan dalam kehidupan. Begitu pula jika membeli barang terutama baju, satu masuk almari satu HARUS keluar bagi saya itu wajib ditunaikan. Namun, tentunya kelak saya tidak akan melulu menjadi “orang hutan” saya akan punya suami, anak2 dan rumah, yang pasti membutuhkan keahlian bebenah, yang jelas bukan ala rimba tapi (mungkin) ala buku The Life-Changing Magic of Tidying Up ini,
    Terimakasih, Satuhu~

  • Amma Rahmawati

    29.09.2016 at 10:21 Balas

    Ikhlasss ituu sulitt kann..kadang saya berpikir daripada membuang barang-barang yang penuh kenangan..saya berkhayal saya membeli rumahh besarr dengan 10 pembantu rumah tangga dan 1 gudang yang besarr.. budaya kurang ikhlas ini terinfluence dengan mertua saya (oppung borunya anak saya) yang menyewa 1 rumah dengan 3 kamar persis di depan rumahnya hanya untuk dijadikan GUDANG. Isinya sepeda2 mahal yang ban nya gembess,buku-buku,boks bayi besar dari kayu kamperr yang hanya boleh digunakan untuk keturunan Siahaan (sekarang cucunya baru satu) dan saya yakin cucu-cu selanjutnya paling cepat akan hadir 2 tahun lagi..hehee.. jadi saya di suggest jangan membuang barang karena itu sama saja dengan membuang uang ! Walau dalam hati ini bergejolak kurang sreg dengan konsep tersebut.. tetap saja saat pindah rumah ke rumah yang lebih kecil saya akhirnya sayakontribusi menititpkan barang-barang di gudang tersebut (ehemm..maksudnya rumah) mungkin nantinya mau dijadikan museum.. kelak kita akan ajak anak cucu ke gudang tersebut dengan mengunakan masker..heii ini baju mommy waktu berat badan mommy 48 kilo,heii kalau ini baju mommy waktu berat badan mommy 55kilo,dan seterusnyaa -___-
    Buku Marie Kondo ini rencananyaa akan saya baca-baca bersama si Oppung Boru..siapa tau kami tergugah untuk bikin Garage Sale.. tapi bingunh juga karena pakaian2 beliau bukan Mango,Zara atau semacamnyaa..tapi pakaian2 yang dijahit dintukang jahit semuaa..hehee..secara konvesional abisss.. at least..rumah yang disewa untuk gudang itu bisa kita bikin untuk perpustakaan kecil anak-anak dan remaja di komplek.. walaupun saya uda pernah bikin perpustakaan buku dan komik dan banyak buku2 yang tidak kembaliii.. (nahh kann susah ikhlas)

    Jadi kamiii ini mesti piyeee mbaaa dewiii?? Bukannya ga mau move on..tapi banyak barang2 yang saat kami pegang itu masih menimbulkann rasa bahagiaaa..
    Happy sih masihhh tapiii perlu atau tidak perlunyaa sihh belum tentu.. hahahaa..
    Sementara harga tanah di jakarta semakin tinggi dan kami belum tentu bisa menciptakan gudang-gudang memory, dan SDM semakin sulitttt.. kalo ga ada yg bantuin bersihkan gimana?kalo dapet fase ga bisa bayar pembantu gimana?
    Totally need this book..hiks hiks..(for free) janji kalau terbit edisi selanjutnya akan beli sendiri ga akan cari gratisan..hehee..

    @AmmaRahmawati

    • Dee Lestari

      30.09.2016 at 08:48 Balas

      Woooow! It’s a hard habit to break, ya. Luar biasa lho, sampai sewa rumah untuk dijadikan gudang. But, yes, it can happen when we cannot let go. Tapi bayangkan betapa beratnya “beban” yang kita angkut dengan segitu banyak attachment kepada barang2. Aku sarankan memang harus baca detail bukunya dulu, karena siapa tahu sensasi bahagia yang dirasakan bisa jadi rancu dengan sensasi tak ingin melepas.

    • Dee Lestari

      06.10.2016 at 14:10 Balas

      Selamat! Kamu berhasil memenangkan 1 buku Marie Kondo. Nanti akan dihubungi langsung oleh pihak Bentang Pustaka ya. Terima kasih 🙂

  • Lilya

    29.09.2016 at 01:31 Balas

    Nyokap gue harus baca dan tahu tentang ini. Itu mantan cerek bolong yang katanya bakalan jadi pot kembang atau tanaman herba untuk masak, akhirnya diem-diem aja di pojok lemari. Dan ngga cuma sekali gue terjebak dalam kepusingan beliau karena merasa kehilangan suatu barang (biasanya alat-alat masak-memasak atau bikin kue… atau sehelai taplak renda). Akhirnya gue ikut jengkel karena Nyokap jengkel mencari pelaku kehilangan itu. Gue ngga pernah lagi ajak tukar pendapat kenapa she kept those things for many many many years sejak dia bilang “kalau Mamah udah ngga ada, ini semua bisa kamu pake”. ummm… sesungguhnya, gue berpikir untuk memulai rumah tangga gue dengan hal-hal yang lebih simple dan practical. Vintage lifestyle is seasonal.
    Tahukah, kalau habit ibu-ibu kita, memang sangat bisa menular, karena kita sudah terbiasa dengan polanya? I found that gue juga menyimpan baju-baju, kain kerudung, celana jeans dengan ukuran lebih kecil 2 nomor … demi ‘suatu hari’. “Kapan-kapan bisa dipakai lagi….”, “Nanti, kalau diet OCD gue berhasil…”, dan seterusnya… dan sebagainya… Padahal, percayalah, ketika suatu pagi bermula kembali, pilihan ngga jauh-jauh dari baju itu lagi, baju itu lagi. Seperti halnya kita selalu punya alasan untuk tetap menyimpan, kita juga keras kepala membuat pembenaran untuk tidak memilih benda yang kita simpan dan, katanya, ‘akan dipakai nanti’ itu.
    Ketika tulisanmu, Dee, ini di-post, gue sedang berada di halaman-halaman awal buku Marie Kondo versi Bahasa Inggrisnya. Seorang teman membagi link ini dan gue pun urun menulis karena ingin membagi rasa gegar atas pemikiran Marie. Kami, gue dan teman-teman, menyebutnya sebagai Peri Baju atau Peri Lemari. Kami terkejut-kejut akan adanya seseorang yang begitu passionate terhadap bebenah, terhadap benda-benda simpanan, bahkan ngobrol dengan kaus kaki! Namun diam-diam gue merasa dia benar, bahwa segala masalah dalam kehidupan boleh jadi akan beres kalau kita sudah berhasil membereskan lemari kita. Mulai dari yang kecil, saat ini, sekarang juga. Gue berjanji, akan segera menyelesaikan membaca dan beberes, sebelum akhirnya gue dan suami dan anak gue yang masih batita pindah menempati rumah kami sendiri (rencana ini tertunda karena kelahiran anak kami dan penugasan suami ke luar daerah).

  • Erika indriyani

    28.09.2016 at 17:44 Balas

    Aku termasuk orang yang suka mengoleksi barang-barang meski sebenarnya barang tersebut tidak begitu dibutuhkan, alasannya sih sayang kalau dibuang, takut dikemudian hari bisa berguna. Itu juga jadi penyebab aku untuk sering berbenah dan tetap saja ruangannya tidak bisa benar-benar rapi karena banyak barang menumpuk. Kadang menyimpan barang sebagai kenang-kenangan padahal tak bermanfaat. Tapi ada perasaan mendalam tiap ingin membuang. Padahal jelas harus dibuang. Sampai sekarang masih terus mencari solusi berbenah yang benar-benar efektif dan efisien.

  • henny rosalinda

    28.09.2016 at 16:34 Balas

    agree…kita punya pertanyaan besar yang sama, bagaimana agar tidak menjadi penimbun?
    saya kagum dengan suami saya..dia tidak suka menimbun, membeli barang-barang yang benar-benar dia suka dan memang dibutuhkan dan mencukupkan dengan yang itu-itu saja dan kelihatannya dia baik-baik saja. selama 10 tahun terahir dia hanya memiliki sedikit barang dan furnitur.
    Imho, mungkin sebagai manusia kita harus merasa cukup dengan apa yang kita miliki dan lebih banyak berbagi dengan orang yang lebih membutuhkan.

  • Ni Putu Eka Yuli Mulyawati

    28.09.2016 at 16:16 Balas

    Ibu saya menjuluki saya tidak punya kerjaan ketika saya menyimpan berbagai benda yang menurut ibu saya tidak berguna dan bahkan dikategorikan sebagai “sampah”. Salah satunya bungkus makanan yang menurut saya unik dan menarik untuk disimpan setelah isinya dimakan. Juga ketika saya jalan-jalan ke pantai dan melihat banyak kulit kerang. Saya akan simpan seplastik. Sebenarnya semua benda itu ingin Saya buat sesuatu yang unik. Tapi pada akhirnya hanya menumpuk di kamar saya. Karena omelan ibu, saya menjadi tidak leluasa menyimpan barang-barang itu di rumah dan mereka pun berakhir di tempat sampah.
    Itu pengalaman saya menyimpan barang di rumah. Beda lagi dengan ketika saya SMA dan jauh dari orang tua karena saya sekolah berasrama. Saya diberikan ruang yang terbatas untuk menyimpan barang. Beda dengan ketika menyimpan barang di rumah, di mana saja masih bisa karena ruang yang luas. Saya jadi lebih selektif dan tidak lagi memberikan makna khusus pada benda yang saya beli atau yang saya temui di jalan. Dan sekarang benda yang saya simpan adalah benda yang memiliki cerita mereka masing-masing, tidak lagi hanya sekedar pungut dan simpan.

  • Erison

    28.09.2016 at 16:07 Balas

    Saya merupakan pribadi yang begitu mudah terdistraksi oleh perasaan saya yang senantiasa bergerak fluktuatif. Hampir 15% disulut oleh obrolan orang asing yang saya curi dengar maupun candaan-candaan teman-teman saya yang tidak peka dan kadang mengesalkan saya. 10% disebabkan oleh antologi hal-hal yang tidak terlalu mengganggu. Dan sisa 80% dibangkitkan dari ketidakrapian istana saya, yaitu kamar saya yang adalah tempat saya menyelesaikan tugas, merenungkan arti eksistensi saya, dan mengisi kembali energi yang terkuras dari serangkaian prosedur bersosialisasi untuk memperluas koneksi. Kegiatan merapikan dan membenahi kamar telah menjelma nilai filosofis yang melekat erat pada pola pikir saya, bahwa jika saya sendiri tidak dapat memegang kendali atas kerapian kamar saya, bagaimana saya akan melangkah lebih jauh lagi dibanding “sekadar” merapikan kamar pribadi saya. Sering tebersit dorongan untuk membiarkan plastik belanjaan itu tergeletak di sudut kamar atau tidak mengacuhkan keadaan laci saya yang disesaki peralatan tulis yang membentuk pola rumit. Meskipun saya membalikkan badan dan mencoba menyugesti pikiran saya bahwa itu adalah hal yang wajar untuk tidak menggubris keadaan-keadaan tersebut, tetapi kesadaran akan hadirnya plastik itu dan berseraknya laci saya, menghantui konsentrasi saya seakan puluhan setan secara bergantian membisikkan, “Lihatlah itu. Kau begitu kotor, menjijikkan, dan malas. Bagaimana kau akan mempresentasikan dirimu pada dunia luar jika kepribadian dan kelakuanmu saja seperti ini saat tidak dilihat orang lain.” Saya percaya, kepercayaan diri, kemampuan untuk dengan tenang mengolah segala masalah yang datang berkunjung, kebijaksanaan, dan merekahnya kesan dewasa dalam cara kita berperilaku dan bersikap, ketiganya dimulai dari pikiran kita. Jika istana kita sendiri, tempat istirahat kita sendiri dapat kita biarkan terbengkalai, dipenuhi barang-barang rongsokan, dan dikerubungi aroma tak mengenakkan, tempat mana lagi yang bisa kita datangi untuk pulang, beristirahat dengan teduh dan menemukan kembali kewarasan serta motivasi kita sebagai seorang manusia dalam melaksanakan rutinitas kita? Kamar kos saya (karena saya merantau dan menuntut pendidikan di luar kota) adalah tempat di mana saya dapat kembali betulan bernapas, betulan merasakan tatkala udara mengisi paru-paruku dan kuhembuskan keluar, dan mengosongkan tong sampah yang terisi oleh tekanan-tekanan dari atasan, dosen, teman, maupun dari diri saya sendiri, serta suara-suara destruktif yang kadang berhasil memerangkap saya dalam pelukannya. Kamar saya atau tempat mana pun di mana saya pulang untuk beristirahat adalah bagian dari jati diri saya dan saya tak akan mengikhlaskan sebagian jati diri saya dihimpit bau asing yang tak mengenakkan, barang-barang yang sudah semestinya berpindah tempat ke tong sampah, dan tumpukan barang yang disusun berdasarkan asas “yang penting ada tempat dan bisa muat.” Jika saya mampu untuk menjaga kerapian dan kebersihan kamar saya secara berkelanjutan, maka itu merupakan modal yang sangat baik dalam menyuntikkan kepercayaan diri dan kemawasan diri pada diri sebelum saya membuka pintu dan melangkah keluar untuk menambang lembaran uang, ilmu pengetahuan, dan pengalaman.

    • Dee Lestari

      06.10.2016 at 14:09 Balas

      Selamat! Kamu berhasil memenangkan 1 buku Marie Kondo. Nanti akan dihubungi langsung oleh pihak Bentang Pustaka ya. Terima kasih 🙂

  • Irma Nur Afiah

    28.09.2016 at 12:34 Balas

    Hai, Mbak Dee! Terima kasih untuk review buku ini. Salam hangat dari Fukuoka, Jepang.

    Saya sangat setuju dengan kutipan ini “Semua yang Anda miliki ingin bermanfaat bagi Anda. Kalaupun Anda membuang atau membakarnya, hanya jejak ‘ingin berjasa’ yang ingin ditinggalkannya.”

    Sebulan terakhir ini saya disibukkan dengan aktivitas berbenah apartemen, karena bulan depan saya akan kembali ke Indonesia setelah 3 tahun lebih tinggal di Jepang. Menariknya tinggal di Jepang adalah jenis pakaian, celana, cardigans, hingga sepatu akan menyesuaikan dengan musim. Oh, payung juga! Kebayang bagaimana di setiap pergantian musim, barang-barang tersebut pun ikut berganti. Biasanya saya menyimpan baju/jaket/celana yang dipakai di musim gugur-dingin di 1 storage box ukuran besar. Dan akan saya keluarkan lalu diganti dengan stok pakaian untuk musim semi-panas. Berbenah untuk pergantian musim saja sudah cukup menyita pikiran dan tentu perasaan.

    Terlebih saat ini. Saya berbenah untuk kepulangan ke Indonesia. Semua barang-barang keluar dari tempatnya. Dan, wow, ternyata banyak sekali! Mulai dari baju, buku, perlengkapan masak, sepatu, tas, dan lain-lain. Di awal berbenah saya berpikir bahwa barang saya sangatlah sedikit, karena saya tinggal sendiri. Tapi ternyata salah. Apalagi saya senang mengumpulkan barang yang punya kenangan. Halah! Sebagai contoh; saya menemukan kemeja yang hanya sekali dipakai ketika presentasi konferensi. Lalu menemukan 1 manga tebal yang saya beli karena ingin belajar bahasa Jepang melalui bacaan ringan. Juga beberapa barang yang memang selalu menjadi favorit saya selama tinggal di sini.

    Di awal berbenah, saya cukup stres ketika harus memilih barang yang akan dibawa pulang ke Indonesia, ditawarkan ke teman di sini,atau dibuang. Apalagi di Jepang tidak boleh asal membuang barang. Kantongan sampah harus dibeli dan sesuai dengan jenis barang yang akan dibuang; burnable/unburnable/bottles. Kalau barang ukuran besar, namanya adalah Sodai Gomi dan harus registrasi dulu ke kantor pemerintahan setempat. Ternyata, sebagian barang-barang yang saya buang (harus ikhlas!) adalah yang jarang saya pakai. Hanya karena dulu dilihat lucu/unik, lalu dibeli, hingga akhirnya jarang dipakai. Sangat menguras pikiran dan keringat. Harus menentukan; disimpan atau dibuang. Rasanya ingin menyimpan semua tapi apa akan terpakai di Indonesia? Ingin menyimpan jaket-jaket musim dingin, tapi sangat kecil kemungkinan akan terpakai lagi. Sepatu boot juga begitu.

    Lalu, saya menyadari bahwa keinginan menyimpan barang-barang ini semata karena ada cerita di setiap barang yang menemani selama sekolah di Jepang. Saya harus rela melepas barang-barang yang bisa saya pastikan tidak akan terpakai jika di Indonesia, meski bagi saya barang ini “kawaii!”

    Apakah cerita berbenah saya akan selesai di sini? Tidak! Kembali ke Indonesia bulan depan, saya juga harus kembali berbenah. Menata kembali barang-barang yang saya bawa dari Jepang dan menata tempat tinggal dengan menyesuaikan kebutuhan saat ini. Mungkin saja ada beberapa barang yang saya bawa tapi ternyata (lagi-lagi) tidak saya butuhkan. We’ll see!

    Saya belum membaca buku ini, meskipun saya tinggal di Jepang dalam kurun waktu yang cukup lama. Semoga buku ini bermanfaat untuk saya ketika kembali berbenah di Indonesia.

    Semoga sehat dan produktif selalu, Mbak Dee.

    • Dee Lestari

      30.09.2016 at 08:50 Balas

      Terima kasih. Memang, barang kenangan itu paling susah untuk diapa-apain, karena kemelekatan batin kita. Semoga nanti berbenahnya sukses.

  • Naufal RM

    27.09.2016 at 15:15 Balas

    Dua atau tiga tahun ke depan, ketika tabungan saya sudah cukup, saya akan meninggalkan rumah dan hidup di luar kota. Rencananya, saya hanya akan membawa ransel carrier, seperti yang biasa dipakai para pendaki gunung. Saya tidak akan bawa koper atau tas besar lainnya. Cukup satu carrier, dan semua yang saya butuhkan harus muat di carrier itu. Mau tidak mau. Oleh karena itu, saya memang harus belajar seni berbenah ala Ibu Kondo ini. Karena, selain saya harus memilah barang-barang apa saja yang akan saya bawa ketika pergi, saya juga harus berani melepaskan barang-barang saya di kamar, entah dibuang atau disumbangkan. Karena saya tahu, saya akan sulit lagi kembali ke rumah saya dibesarkan. Semoga saya menang dan mendapatkan buku ini dari Mbak Dee. :’)

  • Dewi Anggraeny

    27.09.2016 at 01:04 Balas

    “Jika barang itu sudah tidak lagi menimbulkan rasa bahagia, maka lepaskanlah”

    Kalimat ini sangat mengusik perhatian saya. Kenapa? Karena saya termasuk salah satu orang yang tetap menyimpan barang-barang meskipun ketika melihatnya lagi sesekali waktu, kenangan menyedihkan langsung tersaji di hati dan pikiran saya.

    Jika ada lomba “Pengumpul Kenangan”, saya bisa menjadi salah satu kandidat juara karena saya hampir selalu tetap menyimpan semua benda yang memberikan kenangan signifikan dalam hidup saya meskipun itu kenangan menyedihkan.

    Mungkin buku ini bisa menjadi salah satu alat yang dapat membantu saya untuk belajar “melepaskan”.

  • Dianadintofu

    27.09.2016 at 00:10 Balas

    Mungkin buku ini adalah jawaban dari pertanyaan saya yang sudah lama tersimpan tentang bagaimana cara beres-beres rumah sehingga rumah bisa tampak lebih manusiawi. Saya jadi bisa mengenal bahwa saya termasuk orang yang ternyata senang menyimpan dan tidak berani untuk bersikap tegas dalam berkata tidak kepada hal ataupun orang lain. Terima kasih atas penyadaran ini. Dari resensi yang Mba Dewi buat, saya belajar bahwa beres-beres ternyata seperti jatuh cinta. Kita tidak bisa hanya memilih untuk mencinta namun kita juga harus bertahan dan merasa bahagia dan juga bahwa melepaskan lebih baik dari pada menyimpan rasa yang salah. Untuk apa kita menyimpan barang yang kita tidak pakai dan hanya membawa kepuasan di awal yang semakin terdepresi setiap waktunya. Terima kasih kepada Mba Dewi yang telah menjadi sosok yang peduli terhadap setiap detil-detil peristiwa dan proses kemanusiaan yang terjadi di bumi ini.

    • Dee Lestari

      27.09.2016 at 10:10 Balas

      Thank you for your kind words 🙂 Senang jika posting ini bermanfaat.

  • Lydia Laura

    26.09.2016 at 22:46 Balas

    Setelah baca review ini, saya teringat omongan seorang teman “nanti, kalau kamu punya rumah, pasti rumahmu dipenuhi banyak barang ajaib”. Kalimat itu dia lontarkan karena melihat kebiasaan saya menyimpan barang-barang yang mungkin bagi sebagian orang harusnya layak dibuang. Bekas kertas kado, potongan kain, ranting, batu, kawat, entah apalagi. Saya tak sanggup menyebutnya. Pikiran saya, suatu saat barang-barang itu bisa disulap menjadi benda artistik. Jadi sayang kalau dibuang. Tetapi mimpi memang seringkali terlampau tinggi. Kenyataannya, barang-barang itu hanya menumpuk dan menumpuk. Tak berubah bentuk.
    Rasanya saya bukan hanya butuh kemampuan berbenah, tetapi kemampuan untuk merelakan. Melepaskan. Banyak barang yang masih saya simpan bukan karena butuh fungsinya. Melainkan karena barang itu bercerita. Ada kenang yang mewayang pada setiap barang. Ini bukan sesuatu yang baik sebetulnya. Dalam hal ini saya menemukan korelasi antara jiwa dan rumah. Jiwa yang tak mampu melepaskan kenangan serupa rumah yang dipenuhi banyak barang. Maka, membenahi isi rumah, pertama-tama adalah bagaimana membenahi isi jiwa.

  • wiwid wadmira

    26.09.2016 at 22:46 Balas

    berbenah adalah salah satu parameter tingkat kewarasan. ketika saya sudah mulai mager, banyak kerjaan tertunda, maka itulah alarm keras untuk berbenah. Berbenah membuat mood saya kembali ke jalan yang benar. Bahkan saya sering mendapat ide untuk menyelesaikan pekerjaan ketika sedang berbenah. jika utk orang lain berbenah itu rutinitas, bagi saya berbenah itu salah satu wisata hati. Dengan berbenah saya mengatur strategi menempatkan barang, memilih barang dan mengaturnya agar rapi, berkesan segar dan berbeda. beberes juga mempertimbangkan faktor keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan, antara ego dan kenangan, antara faktor alam berupa sirkulasi udara dan cahaya dengan faktor keindahan tataletak. ketika beberes bukan lagi soal rutinitas maka disadari atau tidak, saat membereskan barang kita juga membereskan hati & rohani.

  • Eka Darmayanti

    26.09.2016 at 22:36 Balas

    Membaca ulasan ini jadi ingat artikel ttg tren gaya hidup minimalis yang sedang tumbuh di Jepang. Semangat nya sama. Dalam rangka beres-beres kita juga perlu mengubah mindset yaitu membuat seminimal mungkin pilihan akan barang2 yang biasa kita pakai sehari2 sehingga hidup menjadi lebih simple.

    Less is more.

    Pendiri Facebook sendiri sudah mempraktekkan hidup minimalis ini dengan memakai pakaian yg sama setiap harinya, grey t-shirt and jeans. Semakin sedikit pilihan, semakin sedikit waktu yg terbuang utk memilih pakaian setiap pagi, sedikit biaya yg dikeluarkan utk membeli dan mengikuti mode yg sedang trend, sedikit ruang yg terpakai , sedikit stress, dst.

    Tentu saja hasil positif nya ada, al produktifitas yang meningkat. More space, more time, more money, and more peace 😉

    Saya kira ini lah yang dimaksud zuhud dlm islam, hidup sederhana sesuai kebutuhan walau sebenarnya mampu hidup mewah. Suatu bentuk pengendalian diri, yang buat saya sendiri masih sulit utk menerapkan nya, apalagi kalau terkait belanja buku 🙁 . Hahaha…Semangat!

  • Benny Saputra

    26.09.2016 at 12:34 Balas

    Kalo di istilah K3 perusahaan ada namanya prinsip 5R (Resik, Ringkas, Rapi, Rawat dan Rajin-kalo gak salah adopsi dari metode Jepang juga) jadi setiap karyawan yang bekerja di office harus bisa mengelola tempat kerjanya dengan se efektif dan se safety mungkin, misalnya penempatan ATK yang harus disusun secara rapi, kabel-kabel printer dan laptop yang tersusun baik dan tidak boleh menggangu jalan, penempatan benda tajam seperti gunting/cutter pada tempat yang tertutup, kemudian itu harus terus diperhatikan dan dilaksankan dari awal kerja sampai akhir kerja, dan kebetulan semua karyawan wajib untuk menjalankan metode tersebut, biasanya kalo ada kompetisi per departemen yang juara bakalan dapat reward (topi dan kaos kece) dan yang menyandang predikat paling tidak 5R bakal dapat punishment biasanya sih cuman membersihkan WC kantor, tapi lumayanlah buat meringankan kerja Mas OB sehari.
    Dirumah sendiri sejak kecil Saya sudah terbiasa untuk membantu tugas rumah tangga, biasanya kalo pagi menyapu dan mengepel halaman plus menyusun pot bunga (kalo pagi dipindahkan kedepan, kalo malam ditarik lagi ke bagian dalam) dan menyiramnya 2 kali sehari.
    Setelah menikah Saya masih cukup rajin mengelola rumah walaupun mungkin tidak seperti panduan Mas Marie Kondo (eh cewe apa cowo sih beliau-belum baca bukunya #kodeee) biasanya kalo sedang tidak bekerja Saya suka membersihkan kamar mandi, menata ulang penempatan perkakas mandi dan mengisi ulang sabun dan shampoo yang sudah hampir habis (saya biasa beli isi ulang karena tempat sabun/shampo cair biasanya saya gunakan yang lama jadi kadang-kadang kalo sabun mandi bisa jadi warna-warni isinya), terus Saya juga suka merapikan mainan Keenan (anak Saya umur 2 tahun) yang berantakannya luar biasa sekali tapi hanya ketika dia sedang dirumah neneknya soalnya kalo ada dirumah gak bakalan rela dia membuang mainan sekali pakai atau hal-hal lain yang sebenarnya bukan mainan tapi dia anggap mainan, pada intinya secara pribadi Saya adalah orang yang sangat cinta kebersihan dan kerapian dan juga Menggilai setiap tulisan-tulisan Mbak Dee, hehehe, maaf kalo cerita Saya ternyata tidak sesuai dengan kaidah buku yang Mbak ulas, tetap berkarya Mbak, terimakasih.

    • Dee Lestari

      27.09.2016 at 10:12 Balas

      Wah, nama anak kita sama 🙂 Marie Kondo seorang perempuan, btw.

      • Benny Saputra

        12.10.2016 at 10:21 Balas

        Terimakasih Mba Dee sudah memilih Saya sebagai salah satu komenter yang dapat buku gratisan, hehehe, ditunggu karya-karya Mba Dee yang baru, salam kenal dari Saya.

    • Dee Lestari

      06.10.2016 at 14:11 Balas

      Selamat! Kamu berhasil memenangkan 1 buku Marie Kondo. Nanti akan dihubungi langsung oleh pihak Bentang Pustaka ya. Terima kasih 🙂

  • Anto Arief

    26.09.2016 at 11:24 Balas

    the power of tidyng up. ini ada benang merahnya dengan buku favorit saya The Happiness Project nya Greetchen Rubin. salah satunya adalah emang untuk bebenah. karena hal itu termasuk di dalam daftar: melakukan hal-hal yang ada di kepala tapi ngga juga dilakukan. udah gitu aja. semoga dapet buku gratis. kalau engga juga saya ngga keberatan beli.

  • Endang Larasati

    26.09.2016 at 11:12 Balas

    Saya punya masalah yg sama…. dan ternyata banyaaaak temannya.. hahaha.. Saya penasaran banget dg buku ini… apa bisa mempengaruhi saya? Cari..cari.. eh..beli..beli.. tp nggak boleh cuma bergabung dg buku2 koleksi lain yg msh berbungkus plastik…

  • Mona Intariani

    26.09.2016 at 10:47 Balas

    “Discard everything that does not spark joy”.

    Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di kepala saya sejak pertama kali membacanya di salah satu artikel di internet. Kalimat yang ternyata berasal dari Marie Kondo itu menginspirasi saya untuk hidup secara minimalis dan less-clutter. Penasaran dengan beliau, saya membaca beberapa artikel beliau mengenai bagaimana seharusnya saya memperlakukan beberapa barang kesayangan saya. Beberapa benda mungkin sulit untuk disingkirkan dari rumah karena masalah sentimentil. Namun semakin saya biarkan barang tersebut di rumah, semakin banyak barang yang tertumpuk, tidak dipakai, akhirnya masuk gudang. Dan pikiran “Ah, nanti juga dipakai” semakin membuat barang di gudang semakin banyak.

    Sejak membaca artikel Marie Kondo, saya mulai membenahi barang-barang tersebut secara perlahan. Mungkin tidak dalam waktu yang cepat namun secara progressnya lebih membuat rumah menjadi lebih lega. Satu per satu barang disentuh, dicoba, dan diputuskan apakah barang tersebut akan dikeep atas tidak. Hasilnya? Banyak barang yang sudah tidak ‘bersinar’ lagi. Mungkin karena waktunya telah selesai dan sudah saatnya barang tersebut ‘bersinar’ untuk orang lain.

    Buku Marie Kondo ini sudah lama saya lihat-lihat online namun hanya ada dalam bahasa Inggris. Senang sekali mengetahui bahwa bahasa Indonesianya telah terbit. Secara personal, saya mengucapkan terima kasih kepada Marie Kondo atas bukunya dan pengalaman hidup minimalis yang menyenangkan. Less clutter, less problem.

  • Wenny Pangestuti

    26.09.2016 at 08:39 Balas

    Buku yg menarik. Terus terang saja saya tipe orang yang suka dunia rapi-merapikan benda. Kamar tidur sya adalah tmpat yang rutin menjadi target rapi-merapikan saya. Karena kamar itu ibarat markas nyaman saya untuk sksdar mrenung, menulis, membaca. Saya akan sangat trganggu bila kamar bagaikan kapal pecah alias berantakan. Itu sdah cukup mbuyarkan konsentarsi saya, mngusik mood saya. Kamar berantakan indikasi bahwa saya sang penghuni kamar sdg stress, emosi tidak labil dan malas. Butuh waktu khusus bg saya untuk ada waktu rutin mrapikan kamar, mnenmpatkan barang sesimpel mgkn namun tetp trkesan rapi. Mnyimpan benda2 yg jarang dipakai dalam kardus dan mnyusunnya srapi mgkin. Menempatkan buku brdiri dan berjajar dg rapi di atas lemari pendek saya. Maklum kamar saya mnimalis shg tdk ckup dtmbah rak buku. Mnyimpan buku yang sdh skiranya tak lagi dibaca di dalam krdus srapi mgkin. Mengeliminasi alias mbuang brg2 yg skiranya tak perlu atau brg daur ulang. Jujur, sya sbnrnya trgoda dg barng daur ulang sprti wadh bekas kosmetik, botol2 sisa produk atau kardus2 mini yang imut untuk sya simpan dan sya gunakan swktu2 untuk mbuat keterampilan. Tp nyatanya, smua kdg terbengkalai dn kian mnumpuk. Jdi, akhrinya sya buang.

    Selain kamar, rumah dg ruang depan, ruang keluarga adalh target sering sya rapi-merapikan. Krn itu adalh bgian yg acapkali trlihat saat tamu datng. Sangat mnganggu pemandangan jika ruangan tsb terlihat tidak rapi. Jujur, sbg anak permpuan tugas rumah yg lbih sering dan ahli sya lakukan adalah tugas membersihkn dan merapikan rumah. Klo libur kerja, itu adalh aktivitas utama saya di rumah smpai saya selalu klewatan momen untuk mnyempatkan diri belajar masak kepada ibu. Padhl itu jg modal saya sbg calon ibu rumah tangga. Saya akan menikmati mjd ibu rumah tangga yang bertugas mbersihkan dan merapkan rumah.

    Sya tdk myangakan bhw kenyamanan sya dalam aktivitas rapi-merapikan ini trnyata ada ilmu seni berbenah-nya ya. Sya tdk menyangka kalo ada buku tentang hal ini. Saya tidak mnyangka aktivitas yg klihatannya remeh temeh ini ada pndukungnya saya. Saya sperti mnemukan teman yg mndukung aktivitas ‘aneh’ saya.

  • Rahma Nurul Husni

    26.09.2016 at 04:59 Balas

    Wooow….
    Bukunya memberinya kita mengenai perspektif baru dalam beres-beres.
    Antara menyimpan atau membuang saat pindah rumah antar kota, kita dipaksa untuk making decision dengan cara cepat. Seringkali saat berberes untuk pindah-pindah rasanya lebih rela untuk berbagi barang baik ukuran yang kecil maupun besar, karena tidak mau ribet saat proses pemindahannya.
    Contohnya rak buku yang ukurannya 1,5 meter, aku terpaksa mengatakan kepada temanku “kalau kamu mau, ambil saja dengan buku-bukunya”.
    Ah… Aku mengelus dada, terasa pilu. Walaupun rasanya ragu, tp secara nyata juga tidak mungkin dibawa berpindah karena ukurannya terlalu besar dan biaya kargo juga hitung volume dan berat barang.
    Dari situ kita dipaksa untuk memilih barang yang benar-benar dibutuhkan, jadi apa saja barang yang aku butuhkan???
    1. Baju (5 dus + 1 koper)
    Untuk aku yang sangat peduli dengan penampilan
    2. Sepatu (1 dus sepatu dan tas)
    Hal ini sama, untuk menunjang penampilan saat bekerja.
    3. Kipas Angin (1 dus ukuran besar)
    Untuk safe budget juga, dan jika udara sejuk berkat kipas angin akan membantu untuk betah ditempat baru
    4. Bantal dan boneka-boneka (1 dus besar)
    Untuk aku yang suka tidur dan agar suasana ditempat baru tidak terasa asing

    Lalu apa saja barang yang aku relakan namun hingga saat ini masih dikenang?
    1. Rak buku
    2. Perkakas memasak
    Alasan : aku bisa membeli yang baru dikota tsb
    3. Kotak kotak makan
    Alasan : terlalu banyak kotak makan yang aku miliki dan tidak semuanya terpakai
    4. Printer
    Alasan : ditempat kantor aku juga akan mendapatkan Printer sendiri, lagi pula tintanya masih banyak, aku harus menghindari terjadinya tinta yang tumpah karena posisi printernya terbalik
    5. Makanan / cemilan
    Alasan : salah satu hobiku adalah memasak dan kuliner, tp untuk berpindah rasanya aku bisa membeli lagi, daripada harus membayar ongkos kargo yg hitung kiloan.

    Seandainya ibuku ada disaat proses pindahan, mgkin beliau akan ngomel-ngomel dan mengangkut semua barang tsb utk disimpan di gudang rumah -__-
    FYI, rumah ibu memang sudah seperti gudang. Tak ada barang yang rela ia buang. Bahkan ibu masih menyimpan panci yang pinggirnya bolong.
    Begitu juga dengan ayah, ayah menumpuk peralatan elektronik rusak dirumah.

    Setiap kali aku pulang ke rumah, selalu ada berdebatan, tentang aku yang agresif saat membuang barang dan orangtua ku yang berpendirian keras dalam menyimpan barang.
    Semua pola tingkah laku tersebut mungkin saja berasal dari pengalaman masa kecil, seperti bagaimana kondisi ekonomi yang kita lalui? bagaimana lingkungan sekitar mengajarkan cara berberes? bagaimana orangtua memperlakukan kita saat memiliki sebuah barang?

    Kira-kira dari buku ini jawabannya apa yaaaa

  • Shanti Antik Safitri

    26.09.2016 at 04:13 Balas

    Saya menjadi sangat tertarik dg buku ini. Saya kira hanya saya yg menganggap bahwa adanya hubungan antara manusia dengan benda mati di sekitarnya ternyata sarat akan hubungan emosional, bahkan spiritual (note: benda mati yg benar-benar benda mati loh ya, bukan benda mati ala-ala, yg diisi dengan kepercayaan klenik, dsb). Mungkin tulisan Marie Kondo bisa menjawab kehausan saya akan berbagai pengalaman antar manusia dengan barang-barang di sekitarnya, dengan level yang lebih dalam, lebih emosional, bahkan lebih manusiawi. Karena untuk melepaskan kepemilikan dan kuasa thd barang lain, manusia butuh pembenaran dan proses yg panjang yg bergejolak dlm batinnya sendiri. Yg butuh sedikit disentil dg kesadaran, “dont forget it, try to forgive it”.

  • Denny ahaw

    26.09.2016 at 01:28 Balas

    Kondo memusatkan perhatian dunia terhadap seni berbenah pada level yang lebih tinggi. Di dalam rumahnya, Kondo menemukan dirinya dengan cara yang tidak terduga. Hanya dengan melakukan aktivitas sehari-hari yang terjadi di setiap sudut ruangan di dunia. “Beres-beres”

    Saya pribadi sangat menyukai keteraturan dan beres-beres kamar dengan jadwal yang pasti. Tapi satu kali pun tidak pernah “beres”.
    Setiap kali meja kerja tertata dan lapang saya merasa kehilangan banyak barang dan ingin segera mengacak-acak lagi. Dengan berpikir minggu depan juga diberesin.
    Hasilnya beberapa tahun terakhir barang-barang hanya berpindah dari laci ke lemari tanpa bernah berkurang kuantitasnya.

    Kondo menunjukan merapikan rumah harus selaras dengan merapikan diri, batin, dan rohani. Kita menimbun benda-benda yang bernilai histori tanpa memperhatikan efisiensi. Seiring dengan itu, kita menjerat hidup kita pada masa lalu yang berdiam di dalam benda di pojok ruangan yang jarang kita perhatikan.
    Kondo, melalui pengalamannya mengajak kita untuk hidup pada saat ini. Saat kita merapikan perabotan, saat kita merapikan hidup dan kehidupan kita.

    Terima kasih mbak dewi telah menjembatani Kondo untuk bercerita di Indonesia. Menjadikan Kondo guru bagi para pekarya sudut ruangan rumah kita masing-masing.

    • Dee Lestari

      26.09.2016 at 08:02 Balas

      Terima kasih juga sudah berbagi di sini!

  • Rizki Khairina

    25.09.2016 at 23:49 Balas

    Sambil baca review,sambil lirik lirik kondisi kamar. Bener banget ya,kalo fokusnya cuman milah milah yg mesti di buang,tanpa mikir mana yg mesti di simpan. Ya beginilah jadinya,kamar masih berasa berantakan. Kok ya,beberes ga ada hasil,udah ngurangin barang eh,ini malah masih banyak numpuk. Permasalahan nya ga nyampe di situ,saat ini saya tinggal dengan orang tua,di mana konsep bebenah nya ga sama dgn apa yg saya pikirkan. kalo lagi beberes bareng sm ibu,kalimat ‘sayang kalo dibuang atau nanti bisa di pakai lagi’ ini yg sering bikin bete,padahal udah di simpen juga ga di pake. Karena itu,konsep bebenah saja memang ga cukup, perlu juga untuk mengajak orang lain mengerti bagaimana perasaan ketika menyentuh barang yang akan di benahi,seperti yang dilakukan Marie Kondo kepada klien klien nya.

  • Wina Kanya Wasystha

    25.09.2016 at 22:57 Balas

    Saya adalah salah satu manusia yang hobinya berbenah-benah, mengosongkan ruangan dari barang-barang yang rasanya sudah tidak ada nilainya lagi, dan akhirnya merasa puas dengan barang-barang tidak penting yang saya putuskan untuk lebih baik berakhir di tempat sampah! Dulu saya tidak begini. Saya selalu berpikir dua kali untuk membuang beberapa barang yang sebenarnya sudah patut dibuang, misalnya botol parfum yang sudah kosong, charger yang sudah rusak, dan rongsokan-rongsokan lain yang entah kenapa bisa memberikan saya ilusi kalau suatu saat saya akan menyesal jika membuang mereka karena, saya tak tahu kan kapan membutuhkan botol parfum dan charger rusak?! Padahal….ilusi itu benar-benar salah dan malah tidak ada benefitnya sama sekali. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk “tidak terlalu melankolis dan pilih-pilih dalam berbenah” dan membuang barang yang patut dibuang. Dan memang, hal ini sangat berpengaruh besar. Proses berbenah menjadi lebih cepat, space yang dibersihkan menjadi lebih bersih dan rasanya lebih luas untuk dimasuki inovasi dan kreativitas baru karena sampah-sampah tidak bernilai sudah dibuang! I think I get what Konmari means by saying there is correlation between the way we are tidying up with how we are letting things go in other aspects of our life. It’s smart, and indeed, true in so many levels! Makasih ibu suri untuk review bukunyaaa:D

  • Yesri simbolon

    25.09.2016 at 22:56 Balas

    Bebenah… paling malas ngelakuinnya.. tp kalo mood nya udah ON.. paling semangat organizing nya..

    Aturin ini itu, sortir2.. dan kumpulin barang2 yg sepertinya layak disingkirkan jd sesuatu yg okeh bgt ketika kita keluarkan talent kreatifitas.

    Makin sering bebenah, makin tau lg how to simplify things, makin pinter ngelompokin barang.. makin efektif lg daily activity kita krn semua rapih tertata..
    No wasting time lg nyari ini itu yg entah ketutupan dibalik lemari.

    Penasaran bgt sama buku ini..
    Super happy krn udah ada terjemahannya 🙂

  • omega eddriyanti oktalia

    25.09.2016 at 22:54 Balas

    Dalam 5S, S pertama adalah Seiri, dan hal yang harus dilakukan adalah Sort. Memilah. dan saya hanya berani menyingkirkan paling banyak 10% dari perbendaharaan saya dalam proses sorting. why? karena saya selalu berpikir “mana tahu dua dekade lagi ini akan saya perlukan…”

    Saya pikir saya akan membiarkan Ibu Suri memengaruhi saya lewat buku ini. maka, ajarilah saya menyimpan hanya apa – apa yang harus disimpan.

  • Fada S

    25.09.2016 at 22:23 Balas

    Dirumah tuh banyak banget barang. Sampe kadang rasanya pengen dibuangin dlm artinya entah dikasih ke org lain atau dijual, diloakin. Tapi tetep gak jadi jadi krna tiap kali udah dipisah pisah tetep aja afa barang yg katanya suatu saat bisa berguna, yg nyatanya pas butuh barangnya eh gatau lupa nyimpen dimana. Beli lagi taro lagi simpen lagi bikin penuh. Setelah baca resensi buku ini dan jadi tertarik mungkin buku ini bisa membantu membereskan barang2 dirumah harusnya gimana caranya biar kalo pun mesti di’buang’ atau disimpan memang sudah seharusnya dilakukan.

  • Ardila Pramisti

    25.09.2016 at 22:22 Balas

    Sebenarnya dari masa sd sampai sekarang, saya tidak pernah menjual atau membuang atau paling tidak memberikan buku saya kepada orang lain. Buku itu masih tersimpan rapi di almari gudang, yang bahkan kertas ulangan pun masih tersimpan rapi dan tugas” pelajaran yang lainnya. Padahal secara sadar memang sudah tidak penting, dan juga untuk apa? Hehe
    Dan bahkan pakaian ku dari umur masih bayi masih ada, popok kain dan “grito” masih tersimpan juga. (Haha) itu di turunkan dari kakak perempuan saya, lalu saya dan keponakan saya lalu sekarang anaknya kakak saya.(unik) entah keluarga saya yang aneh atau apa, tapi kenyataannya seperti itu.
    Untuk mainan waktu kecilpun sama, ayunan dari ban bekas sampai sekarang masih ada dan masih dipakai untuk mainan. Tapi itu semua tetap tertata rapi pada tempatnya masing” (walaupun memang menuh”hin tempat)

    Hehe, terimakasih
    Karena hal ini, akhirnya ada wadah untuk bercerita.

  • Siti Rahmi Nur Utami

    25.09.2016 at 22:01 Balas

    Hai Mba Dew terimakasih sudah review tentang buku Konmari ini. Sebelumnya saya sudah pernah membaca artikel tentang metode berbenah dari Jepang ini dan beberapa hal sudah saya praktikan. Hasilnya cukup mengejutkan. Ruangan kecil berhasil menjadi nyaman karena tertata dan emosi menjadi lebih stabil karena sudah mengikhlaskan barang yang memang sudah layak ‘pergi’, seperti baju-baju yang sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak dipakai. Storage di rumah juga tidak banyak, jadi rasanya memang sangat perlu menyeleksi barang mana yang benar-benar dibutuhkan. Seriously, It’s such a big help. Jadi penasaran untuk baca buku Konmari ini deh, Mba Dew.

  • Fitria Wardani

    25.09.2016 at 21:21 Balas

    Saya senyum-senyum sendiri dan merasa tidak sendiri. Sebuah perasaan sulit untuk mengikhlaskan suatu benda adalah pergulatan batin tersendiri yang menambah lamanya waktu berbenah. Saat masih berstatus sebagai pelajar, saya memiliki aktivitas berbenah meja belajar dan segala macam isinya paling tidak setiap 3 bulan sekali.
    Aktivitas bebenah yang penuh semangat sayangnya hanya sering berlangsung di awal, karena saat di tengah waktu bebenah dan menemukan barang penuh memori, saya sering terjebak nostalgia terlebih dahulu dengan benda itu. Efeknya? Aktivitas bebenah jadi tidak maksimal karena waktunya terbuang menekuri benda-benda yang sebenarnya hanya carikan kertas berisi tulisan teman yang sudah lama tak ditemui, atau juga benda pemberian dari teman yang sesungguhnya sudah sangat tidak relevan dengan usia saya.
    Pergulatan batin antara ingin menyimpan terus namun sesungguhnya tak punya faedah yang berarti dan keharusan untuk mulai mengikhlaskannya tapi masih belum bisa ikhlas nyatanya menguras waktu. Ujungnya malah jadi males bebenah dan jadinya ga maksimal karena merasa lelah.
    Hal yang demikian saya alami cukup lama dan membuat saya selalu menumpuk benda lama yang sebenarnya tidak lagi saya butuhkan. Jatuhnya malah jadi sampah, hingga saya mulai memutuskan untuk keras pada diri sendiri dalam bersikap.
    Bahwa benda kenangan akan selamanya jadi kenangan dan tidak akan lebih. Saya mulai menyingkirkan benda-benda yang sudah seharusnya tidak lagi saya simpan. Yang paling sulit adalah menyimpan kertas-kertas ucapan selamat ulang tahun zaman SD. haha

  • marwah husein

    25.09.2016 at 21:15 Balas

    sudah lama menanti buku ini, karena saya hanya berkesempatan melihat tutorial atau tatacara berbenah konmarie di youtube aja. dan aku yakin buku itu bakalan banyak yang membutuhkan.
    & untuk mba dee, please sering-sering hasut tim redaksi demi buku yang bagus & dibutuhkan masyarakat… kami semua membutuhkannya

  • ummul chair

    25.09.2016 at 21:10 Balas

    Buku yang sangat menarik, beberapa bulan yang lalu menemukan review buku ini (edisi bahasa Inggris) dan sempat terbesit harapan agar buku ini bisa terbit dalam bahasa Indonesia. Saya sangat bersyukur beberapa bulan kemudian keinginan saya diwujudkan oleh semesta. Membaca review buku ini, dan pengalaman orang-orang yang sudah mencoba menerapkan konmari, serta melihat langsung melalui video, bagaimana Marie Kondo memulai proses decluttering, saya menyadari bahwa decluttering bukanlah sebuah rutinitas yang biasa. Ini adalah gaya hidup, sesuatu yang harus kita lakukan dari hari ke hari. Sangat berat di awal, oleh karena itu Marie Kondo menyarankan untuk tidak memulai merapikan benda kenangan, karena ujung-ujungnya kita bisa baper dan batal bersih-bersih. Bersih-bersih ternyata tidak sesederhana membuang dan menyimpan. Bagian membuang lah yang selalu terasa berat. Tetapi, Marie Kondo, dengan pendekatan yang berbeda, membuatnya lebih mudah. Marie Kondo mengajarkan untuk berterima kasih kepada benda-benda yang akan kita lepaskan. Bagi saya hal ini sangat emosional. Karena akhirnya saya menyadari, mengapa saya begitu sulit mengubah kebiasaan menumpuk berbagai barang. Mungkin karena saya adalah orang yang sangat sulit untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan Marie Kondo, dengan pendekatan yang berbeda, membantu saya untuk melepaskan benda, dan kenangan yang melekat padanya, dengan cara itu saya bisa melepaskannya dengan lebih mudah, karena saya melepasnya bukan dengan selamat tinggal, tetapi dengan terima kasih.
    for me, this book is not just about how to tidying up, but also how to letting go.

  • Pramusita

    25.09.2016 at 20:45 Balas

    Keren, saya benar-benar dibuat penasaran dengan review ini! Ingin mempraktikkan langsung. Selama ini memang dalam berbenah, lebih sering saya fokus pada ‘yang akan dibuang’ karena jauh sebelum itu saya diingatkan ibu bahwa saya menyimpan terlalu banyak dan malah tidak membuang apa-apa. Rumah yang saya tempati terbilang kecil, sebenarnya cukup nyaman. Namun, karena kedua orang tua saya tidak punya banyak waktu di rumah, sayalah yang paling merasakan rumah. Bahkan di malam hari kalau meja adik, meja bapak, dan meja belajar saya sendiri berantakan, tangan saya gemas untuk membereskan. Pernah suatu kali saya membereskan gudang, sendirian! Tapi saya puas dan pamer pada ibu, gudangnya tidak begitu sesak seperti sebelumnya. Saya berhasil ‘membuang banyak’. Kalau saya beruntung mendapatkan buku The Life-Changing Magic of Tidying Up ini, saya akan mengajak semua orang di rumah untuk lebih peduli pada kerapian rumah, supaya lebih nyaman ditempati bersama dengan mempraktikkan metode KonMari. Terima kasih!

  • M. Zam Zami Yahya

    25.09.2016 at 19:58 Balas

    Abis baca reviewnya langsung keinget mama dirumah hehehehe. Akhirnya ada buku yang bisa ngebantu saya biar gak dimarahin mama karena buku berantakan, kertas yang saya kira masih diperlukan kemana mana, baju dalam lemari pakaian yang acak adutlah. Semoga semua permasalahan itu dapat diselesaikan buku ini

  • romy ramadhana

    25.09.2016 at 19:39 Balas

    Setelah saya membaca sejumput resensi ini, saya kembali memikirkan tumpukan buku-buku yang menunggu untuk dibaca. Saking lupa daratannya, saya sedikit terobsesi tiap kali ada buku baru. Hal itu bela-belain nabung kalau nggak punya uang dan saat sudah membeli beberapa, kadang saya merasakan dilema, saya harus mulai baca yang mana. selain itu saya juga kadang kelabakan mengatur kembali tatanan kamar saya. mulai dari alat tulis yang berserakan, pakaian yang sudah digunakan begerlantungan di belakang pintu, buku-buku lama yang masih layak pakai,dll. barangkali saya akan menemukan jawaban bagaimana cara berbenah diri yang unik melalui buku ini yang bisa mencerahkan saya. Hope me luck!

  • Ellia Mutiarasari

    25.09.2016 at 19:15 Balas

    Berbenah? Mungkin salah satu rutinitas yang selalu saya lakukan setiap minggu di hari libur dibangku sekolah SD bahkan sampai saat ini sudah di bangku kuliah dan mulai bekerja.
    Salah satu kata yang menurut saya tidak asing karena saya sangat menyukai hal itu, sama seperti penulis buku ini, tidak senang melihat yang tidak rapi, tidak teratur, rasanya ingin membuang yang memang mengganggu keindahan mata saat melihat suatu tempat yang banyak tertumpuk barang-barang.

    Tetapi, sekian lama juga saya melakukan rutinitas ini, apakah sudah termasuk benar saya merapikan semuanya yg tertata rapi dengan banyak storage? Bahkan, karena terlalu rapi nya saya menyimpan benda2 tersebut, sampai lupa saya menempatkannya dimana, saat sedang butuh padahal saya punya, kemudian saya beli lagi karena lupa menyimpannya dimana. Kadang seperti itu.

    Kemudian, tanpa sengaja saya membaca link ini dari ig Mbak Deelestari, sepertinya saya akan menemukan jawaban dari setiap kebingungan dan keraguan saya mengenai arti “berbenah” sebenarnya.

    Mungkin dengan membaca buku ini, saya mampu mempraktekan yang seharusnya saya lakukan.

    Terima kasih.

    Best Regards
    Ellia

  • Ariffin Azis

    25.09.2016 at 18:02 Balas

    Baru tahu ada ilmu yg mempelajari tentang berbenah. Bahkan ada ‘master’nya. Selama ini yg saya lakukan kepada para ‘mantan yg sudah tak terpakai’ hanya menyimpannya di dalam kotak yang kemudian entah berapa lama kemudian saya langsung memilih untuk membuangnya beserta kotaknya sekaligus. Karena menurut saya itu lebih mudah dari pada harus memilah mana yg harus di simpan atau yg harus di buang. Tapi pd kenyataannya terkadang saya malah menyesal sudah membuang barang tersebut. Melihat resensi ini membuat saya berfikir, sepertinya saya harus mempelajari isi buku ini. Mungkin bisa membantu supaya saya lebih bisa lagi mengatur tentang perbenahan di tempat tinggal saya.

  • Chandra Wulan

    25.09.2016 at 16:58 Balas

    Akhirnya dapat referensi yang bisa ditunjukkan ke mama, setelah bertahun tahun digelari, turunan nenek, tukang buang barang.

  • Adhya larasati

    25.09.2016 at 16:03 Balas

    Temen bilang, beberes itu ngasih efek therapeutic. Hanya jika dieksekusi.

    Masalahnya tiap kali turun tangan, saya ngadepin rasa takut suatu hari bakalan masih butuh barang ini tapi karena udah terlanjur dibuang jadi kudu beli lagi, keluar duit lagi. Lalu itu barang disimpan lagi di tempat yang saya kemudian lupa. Hihihi.
    Atau saat mulai rajin beberes dan memasuki teritori properti suami tiba2 mentok karena dikomentari “udah.. taruh situ aja dulu.”
    Oleh karena itu jadi pengen bikin storage yang lebih memadai. Padahal beli barang2 yang bener butuh tapi belum punya (yang sayangnya harganya mahal) mikirnya berkali2 dan sayang duitnya. Eh giliran lain waktu ada barang unyu2 (yang ngga pake dipikir dulu apa bener l2 perlu) dengan harga lebih murah, ngga pake mikir langsung beli gitu aja. Setelah udah bener2 punya, ternyata perasaan bahagia nya tipis-tipis aja. Bahkan kalo ngga punya pun sebenernya nggapapa. Hahaha.

    Jadi kesimpulannya, saya harus mulai berbenah (diri) dari mana ya?

  • prapti alpandi

    25.09.2016 at 15:17 Balas

    I’m ready to kondonize my life!
    Semoga tahun ini benar-benar bisa jadi tahun beres-beres dan tahun depan bisa berasa lahir baru! Ah, masih ada waktu!
    Tahun penuh dilema ini, ada beberapa hal yang akhirnya harus saya relakan dengan terlebih dulu mengalami gejolak emosi yang luar biasa dari tahun-tahun sebelumnya.
    Februari saya berhasil membuat keputusan yang cukup banyak ditentang karena merelakan rambut panjang dan memberanikan diri ikut aksi gundul. Daripada rambut panjang sering jadi sasaran kemarahan saat migrain hebat menyerang. Ternyata, it’s ok to be bald! Dan setelah itu rasanya saya jadi lebih ingin bersyukur dan berjanji untuk memperlakukan rambut saya lebih baik dari sebelumnya.
    Selanjutnya, berhasil juga akhirnya merelakan seseorang melanjutkan perjalanan hidup bersama orang lain. Ya, sudah saya masukkan dia ke dalam list orang yang hadir sebagai guru luar biasa. Bagaimanapun, dia tidak salah. Sudah banyak hal baik yang diajarkannya kepada saya. Dan saya sangat beruntung dipertemukan dengannya selama ini.
    Yang sedang berjalan, beres-beres trauma yang nongol lagi setelah tertimbun cukup lama dan terakumulasi dengan trauma-trauma baru. Hal yang cukup membuat saya seolah terpelanting, dan hal ini sangat mengganggu secara psikis hingga fisik. Beberapa orang yang dipilihkanNya untuk tetap ada di sekitar saya ketika kondisi banyak berubah begini sungguh sangat membantu. Termasuk sahabat-sahabat yang mengenalkan saya dengan art therapy, SEFT, dsb.. Dan yaaaaa.. Sepertinya Marie Kondo akan turut membantu saya dalam proses ini. Ya, semoga saja. Hihi..
    Satu hal lagi, beres-beres buku, daun-daun, dan alat gambar jadi PR harian banget!
    Selamat berjuang beres-beres semuanyaaaa.. Semoga kita semua lebih bahagia sesudahnya..

    • Dee Lestari

      06.10.2016 at 14:11 Balas

      Selamat! Kamu berhasil memenangkan 1 buku Marie Kondo. Nanti akan dihubungi langsung oleh pihak Bentang Pustaka ya. Terima kasih 🙂

  • Harini rahmi

    25.09.2016 at 15:16 Balas

    Saya memiliki orang tua yang senantiasa menata ulang ruangan setiap 2 atau 3 bulan sekali. Hal iji beliau yakini bisa menciptakan suasana baru dan sekaligus sebagai kesempatan untuk beres-beres sehingga barang2 yang tidak lagi terpakai bisa disingkirkan atau dimanfaatkan untuk hal-hal baru seperti menjadi pot bunga, membuat bunga, dan kerajinan lainnya.

    Saya menyukai ruangan minimalis namun tidak dapat saya pungkiri bahwa pernak pernik lucu tak bisa membuat saya berpaling meski saya tau persis saya tidak membutuhkannya. Adanya online shop di IG tak jarang menggelitik saya untuk berbelanja baju, sepatu, atau penak pernik lucu yang pada prinsipnya tidak pernah saya cari namun tak bisa saya abaikam setelah melihatnya. Inilah yang membuat lemari, kamar, dan meja saya perlahan tapi pasti dikelilingi oleh barang2 yang tidak saya butihkan tapi tidak rela untuk saya singkirkan.

    Biasanya akan ada suatu titik jenuh dimana saya butuh me time dan salah satu cara saya menikmati me time adalah dengan recovery my room. Membersihkan kamar seharian dan mengumpulkan kekuatan untuk memberanikan diri mengeluarkan barang2 yang harus saya pilih untuk bukan lagi menjadi bagian dati kamar saya. Sungguh sulit dan itu akan membuat saya seperti mendaki gunung dan bertualang mengalahkan ego. Namun setelah saya memaksakan diri dan bersedia untuk melepaskan beberapa barang2 tersebut dan berhasil membuat kamar saya menjadi super rapi saya sungguh seperti berhasil melewati roller coaster paling panjang dan paling tinggi di dunia dengan durasi paling lama sehingga meski saya telat menjerit sejadi2nya dan merasakan nyeri namun saya bisa tersenyum lebar saat roller coasternya berhenti. Ruangan yag rapi darinupaya sendiri melahirkan energi baru sperti saya baru pulang dari traveling dari tempat yang paling indah.

    I really waiting for this inspiring book to complete my day.

    Thanks mba dew sudah menghasut bentang pustaka. Let my tidying up my room to tidying up my mind

  • nita rosita

    25.09.2016 at 14:41 Balas

    Mengenai beres2 sudah lama sy terinspirasi dari kultwit mba dee ttg decluter…sy termasuk’raja tega’ dalam hal buang2 barang,smp2 anggota keluarga lain harus ngorek2 tmpat sampah lagi buat mastiin brg2 mereka ga tereleminasi…setelah buang2 barang rasanya ringan dan fresh jiwa ini…dtambah seneng kl setelah beberes bisa mnghibahkan barang2 tdk terpakai ke temen2 yg membutuhkan…tapi tetep aja rasanya masih sering kurang puas…krn hobi juga numpuk barang baru..mulai dari baju,buku,alat2 makan dengan inisal TW itu loh…makanya penasaran bgt sm buku ini..baru baca reviewnya mba dee aja udh ngikik sendirian…inget tmn2 kantor suka ngeledekin sy ‘kesurupan’ roh pembantu rumah tangga kl lagi beres2 kantor…ternyata ada juga ya org yg lebih ekstreem tergila2 beberes smp dia nemuin filosopinya…keren pasti nih bukunya…apalagi kl gratisan…beresin lemari buku dulu ah *doublekode

  • Olivinia Qonita

    25.09.2016 at 14:25 Balas

    Ketika mendengar kata berberes, seketika yang teringat adalah teriakan ibu di minggu pagi untuk membereskan kamar dan rumah. Enggan sekali rasanya. Toh menurut saya, merapikan barang tidak penting-penting amat selama saya masih dapat beraktivitas di tempat itu. Tetapi ada satu sudut di kamar yang sangat senang saya rapikan, yaitu rak buku.

    Satu bulan lalu, setelah wisuda yang menandakan selesainya masa perkuliahan selama empat tahun, saya melirik rak buku yang sudah sangat berantakan. Buku tumpang tindih. Tak jarang ujungnya terlipat meninggalkan bekas yang sulit untuk dihilangkan. Akhirnya, pagi itu dengan penuh kesadaran saya mulai menata ulang buku saya.

    Berberes adalah pekerjaan yang berat. Bagi saya, menyingkirkan buku atau kertas yang tidak perlu bukan hanya soal rapi atau tidak, berguna atau tidak, melainkan saya seringkali menimbang-nimbang nilai kenangan dari barang tersebut. Mungkin itu juga sebabnya hingga saya selesai kuliah, saya belum mampu membuang kertas-kertas ujian saat persiapan tes masuk perguruan tinggi. Bagi saya, kertas-kertas itu adalah kenangan, bukti perjuangan meraih impian. Maka kertas-kertas itu hingga kini masih saya simpan di salah satu sudut rumah. Entah untuk apa. Saya tidak tau apakah emosi yang ada pada kertas itu akan sanggup saya lupakan atau tidak. Saya ingin membaca buku ini agar saya bisa merapikan dengan lebih baik. Tidak hanya merapikan ruang, tetapi juga merapikan kenangan.

  • Noor Hidayati

    25.09.2016 at 14:18 Balas

    Kok pengen nangis ya.. T_T. Tetiba ingat motor, HP sama baju. Jadi Mbak, di usia 25an aku tu baru bisa mengadakan (melakukan pengadaan >,<) barang seenak udel sendiri. Udah 2 tahun berarti. Capaian terbesar adalah Motor dan Laptop sebenernya. Tapi laptop nggak ada cerita. Cerita dramatisnya sama HP. Si Sammy.

    Beberapa hari yang lalu aku SMS adikku, bilang: "Dek, kamu masih butuh HP-ku ndak? kalau iya aku kirim". Massage sent. Dan aku duduk lamaaa di pinggir ranjang. Meyakin-yakinkan diri bahwa itu keputusan yang benar. Sebelumnya karena merasa berbagai akun sosmed sudah tidak lagi terlalu berfungsi, aku memutuskan untuk kembali menggunakan HP biasa. Kubuka laci di mejaku kuambil si Sammy, kubuka layar flip-nya. And I don't how, tapi aku merasa dia bukan Sammy yang kukenal dulu. Dia seperti bukan HPku lagi. Aku sempat bergeming, mematung, meraba-raba perasaanku, kok nggak bahagia ya, kok malah ada penolakan. Berkernyit dan berkata pada diriku sendiri "ni apasih, kok jadi berperasaan gini sama Sammy". Maksudnya, dia kan cuma HP. Iya, aku sangat sayang sama dia, tapi aku nggak nyangka bakal merasakan hal aneh kayak gitu sama sebuah benda. Kyaaa… garuk – garuk kepala. Tak lama kemudian terpikir untuk menyerahkannya lagi ke adekku yang entah bagaimana seperti sudah jadi tuannya sekarang. Entahlah, tapi aku merasa keduanya akan merasa bahagia untuk kembali bersama. Keputusan itu terhitung cepat kuambil. Aku adalah tipe orang yang bahkan keukeuuuh mau tetep nyimpen kaus kaki yang sudah bolong dan kendor sekedar untuk dijadikan lap. Yang juga memisahkan kertas reusable buat corat-coret atau cetak test page printer yang rewel. Yang kalo kehilangan barang yang disayang bakal beli lagi barang yang sama berkali-kali sebanyak ia hilang dan selama masih tersedia di pasaran. Yes, I am a kind of that people. Jadi aku kaget untuk yang kedua kalinya dengan keputusanku sendiri yang begitu cepat. Tak ada rasa berat. Mungkin ini yang seperti orang – orang bilang: something that can’t kill you will make you stronger. Mungkin aku sudah semakin jadi orang kuat ya.. berkata pada diri sendiri dan tersenyum. Just FYI, akutu masih dalam tahap penyembuhan dari patah hati Mbak Dee.. hehe..

    Sambil SMS aku juga mikir sih. Kan jadi nggak punya HP, kan HP itu banyak kenangannya. Dan kan, kan yang lain. Tapi aku memilih menganggap ini hal yang mudah saja. Melepaskan. Uuuuu…

    Kemudian adikku membalas: “Iya Mbak masih. Assiiik”. Dan aku tersenyum. Sepertinya bahagia sekali. Aku juga jadi bahagia. Akk..

    Sammy adalah HP baru pertama yang bisa kubeli dengan uang gajiku sendiri. Sebelumnya cuma mampu beli HP cina second. Dan sebelumnya lagi pakai HP-HP ajaib dari kakku yang hobi bongkar pasang alat elektronik. Dia juga HP impian. Karna suka ngerasa kece liat di film-film. HP flip buat telponan is looks so cool. Belinya pun dianter temen-temen sekantor. Bisa dikatakan aku memang sangat menyayanginya.

    Dua tahun ini memang dia tidak terpakai, karena intensitas komunikasiku tak terlalu banyak seperti dulu. Jadi cukup dengan satu HP yang bisa untuk semua. Si Trondol. Sampai setahun kemaren adekku pulang. Ia butuh HP tambahan yang bisa tahan lama dan tahan banting, jadilah si Sammy dipakai. Tadinya ia sempat pakai HP ibu yang juga tidak terpakai, tapi pas dia mau pulang ke Jawa, dia bilang: "Mbak aku pake HPmu ya? kamu aja yang pake punya Ibu". Dan dia katakan hal itu dengan nada ringan yang biasa saja. Tanpa sedikitpun kata-kata permohonan, pffftttt… kemudian Agustus kemaren dia datang lagi untuk numpang nikah, huehue… Dan aku meminta si Sammy lagi. Aku tak mau ia dibawa pergi lagi. Dan sepertinya kali ini perginya lebih lama, kan udah punya suami. Kuletakkan ia di laci meja kamarku. Sampai saat aku buka lagi kemarin.

    Hfff jadi panjang ya Mbak. Hehe.. tadinya pengen nulis ini di blog pribadi, tapi … banyak tapinya. Setelah baca postingan Mbak Dee di IG jadi nggak nahan buat nulis. Jadi lega juga. Dan pengen nangisnya kok bisa segini kebetulannya sih,, mengingat udah hampir sebulan nggak buka IG. Dan baca web Mbak Dee jadi merasa itu ditulis buatku untuk menunjukkan aku buku ituuu.. Haa.. aku kan jadi pengen banget punya bukunya.. Jadi aku mau banget kalau dikasih satu. Hihi.. Kalaupun ndak ya.. cukup seneng bisa “curhat” sama Ibu Suri. Dan semoga bisa punya bukunya entah dengan cara apa. Trimakasih 😀

    • Dee Lestari

      06.10.2016 at 14:12 Balas

      Selamat! Kamu berhasil memenangkan 1 buku Marie Kondo. Nanti akan dihubungi langsung oleh pihak Bentang Pustaka ya. Terima kasih 🙂

  • Wahyu Purwita Sari

    25.09.2016 at 14:05 Balas

    Saat saya selesai posting gambar di instagram, saya scrolling timeline dan membaca postingan mbak dee tentang buku ini. Saya sebenarnya pernah melihat beberapa kali postingan mengenai buku ini dan membaca captionnya dan hanya berpikir ‘kayaknya gw harus beli buku ini deh’ tapi hari ini akhirnya saya membaca resensi ini.
    Saya terkenal sebagai orang yang berantakan kalau berbicara mengenai kerapihan kamar, dari dulu semenjak ngekos dan sampai sekarang, karena terlalu sayang untuk membuang apapun dan terlalu malas untuk merapihkan.

    Di kantor, saya bertanggung jawab terhadap semua dokumen-dokumen, meskipun secara softfile saya akhirnya berhasil merapihkan, namun untuk hardcopy saya masih messy -_- sehingga kalau saya ngga ketemu dokumen hardcopy, saya akan print ulang saja dan begitu seterusnya. Tumpukan dokumen di meja pun lama-lama semakin menggunung, sampai jadi bahan becandaan bahwa kalo saya ngantuk, itu tumpukan bisa jadi bantal :(. Rak buku dirumah isinya juga udah campur-campur karena ngga ada tempat buat nyimpen barang-barang lain.

    Saya sadar harus ada perubahan, namun harus dimulai dari mana? dan apa yang harus saya lakukan? Kalau dari deskripsi di atas sepertinya ada jawabannya ya mbak dee? Thanks for sharing ya mbak dee 🙂

  • Tricia kathalya

    25.09.2016 at 13:36 Balas

    Saya termasuk kategori miss B, saya senang melalukan 3B di tengah kesibukan saya.. 3B bebersih, beberes, bebenah…. kalo ruangan rapi, bersih..terorganisir.. .bikin mood saya jadi baik n happy… Faktor pendorong utama saya melakukan 3B ini mungkin karena saya sering pindah2 tempat ya… hitung2 mungkin sudah 10 kali pindah rumah. 3 kali pindah kota.. hehehhe… memang melelahkan.. tapi kalau sudah melihat hasil menata ulang barang2..seperti punya pengalaman baru…exciting.. .mungkin seperti seorang pelukis yg berhadapan dengan kanvas kosong…. kalo udah terisi rapi dan bersih.rasanya puasss sekali..

  • Vera

    25.09.2016 at 12:59 Balas

    Hal pertama yang saya lakukan setelah membaca review ini adalah membereskan file-file di laptop. Untuk beberapa koleksi yang makan tempat saja seringkali kita sayang membuangnya, apalagi yang tidak makan tempat seperti koleksi film dan video. Alih-alih ‘Ah, siapa tau nanti bermanfaat’ sangat mendukung kegiatan menjejalkan barang-barang tidak terpakai ini. Sehingga, proses berbenah seringkali hanya menata posisinya kembali karena tidak tega untuk membuangnya. Jika reviewnya saja bisa langsung menggerakkan saya, apalagi bukunya?

  • Ditta Dara

    25.09.2016 at 12:37 Balas

    Setelah membaca review ini, tetiba langsung teringat pertengkaran kecil di rumah pasti tidak jauh-jauh dari “Kok ini berantakan? Tadi aku taruh ini disini tapi sekarang kok ga ada? Aku mau pakai baju ini tapi kok gak ada?”

    Pernah juga membeli barang A karena lupa taruh, setahun kemudian baru sadar, “Ternyata saya punya ini..”

    Tetapi kadang untuk Buku, meskipun saya akui ada beberapa buku yang belum “terbaca”, saya selalu menganggap buku adalah “investasi” . (Pembelaan)

    Saat baca review ini, Damn, itu Saya banget! Saya harus berubah.

    Tapi sayangnya kadang kemauan untuk berubah harus diingatkan berkali-kali. Karena sekarang ini langsung berbenah, belum tentu besok, lusa, minggu depan kita masih punya semangat yang sama.

    Pernah baca merapihkan kulkas agar makanan tidak mudah basi, akhirnya beli tempat makan plastik banyaaak, awalnya rajin, lama-lama? Balik lagi ke kebiasaan lama. Hmmm

    Dengan adanya buku ini, semoga bisa membuat kita terus teringat, terus tersadar, sehingga ada perubahan baik di rumah sendiri ataupun pribadi saya sendiri . Tidak hanya menjadi bacaan “sesaat”

  • Eva Karly

    25.09.2016 at 12:35 Balas

    Membaca resensi Mbak Dee sangat membuat saya seperti menemukan benua baru. Ini dia yang yang saya perlukan.

    Sebagai orang yang sangat malas beres-beres, saya memiliki banyak sekali barang-barangyang masuk kategori dibuang sayang. Contoh paling simple sih lemari pakaian. Lemari selalu penuh sesak, sementara baju yang dipakai sebenernya cuma itu-itu saja. Setelah dipilah-pilah pun, baju yang tersingkir cuma beberapa lembar, dan sisanya tetap d lemari, tak tersentuh, tak terpakai. Akibatnya yah kondisi rumah jauh dari keadaan rapi. Barang d sana sini. Semua tempat lowong dijadikan tempat untuk meletakkan barang (sementara) yang akhirnya tidak tersentuh selama berbulan-bulan (permanen). Belum lagi perabotan-perabotan tua yang selalu “masih bisa dipakai” atau “bahannya bagus, sayang dibuang” yang membuat kondisi rumah semakin “semarak”.

    Semoga buku ini bisa meningkatkan kualitas hidup saya yang sebenarnya suka keadaan rapi tapi terlalu MALAS untuk beres-beres karena tidak tau harus mulai dari mana.

  • Desak Ketut Putri Handayani

    25.09.2016 at 12:22 Balas

    Berangkat dari postingan ini, sebuah ingatan tiba-tiba berkelebat dalam pikiran saya. Saya ingat sebuah hal tentang “mengikhlaskan”. Sebelumnya, saya adalah tipe orang yg susah mengikhlaskan, dalam hal ini, mengikhlaskan benda. Lalu, kebiasaan itu saya bawa di kamar kost saya di daerah rantauan. Saya senang memiliki kamar pribadi yang cukup luas, saya juga senang menaruh benda apa pun di dalam kamar saking luasnya. Saya sudah jadi kolektor tas plastik bekas karena berpikir bahwa itu berguna untuk kelangsungan hari-hari saya, saya juga kolektor kardus bekas yg saya kedokkan untuk menyimpan buku-buku kuliah yg sudah tak terpakai, dan banyak hal remeh temeh lainnya yang rasanya sangat sayang saya buang alih-alih akan berguna di kemudian hari. Jeng jeng… akhirnya kamar kesayangan saya jadi lebih mirip gudang dibandingkan kamar tidur.
    Suatu ketika, pacar saya berkunjung. Dia tidak banyak berkomentar, lalu hanya bertanya, “Kamu tau kenapa kamu suka bosan di kamar dan bawaannya stress aja?” Saya menjawab, “Ngg, gak tau. Kenapa emangnya?” Lagi-lagi dia tidak banyak berkomentar. Langkah pertamanya, ia mengambil koleksi tas plastik saya yg susah payah saya kumpulkan sambil berkata, “Buang!” Mulut saya berceracau, ada rasa tidak ikhlas. “Apa? Buang? Kamu gak tau ya, ini tuh bla bla bla..” pacar saya tidak menggubris, dia lalu mengambil barang-barang yg lain. “Ini, buang!” Semakin menjadi-jadi. “Ini toples udah gak kepakai? Gak ada tutupnya, buang!” “Ta ta tapi itu kan..” Saya jadi semakin terdesak, terancam, tidak terima tapi dia ada benarnya juga, tapi kan, ah… saya hanya menuruti kemauannya saja. Sesekali saya terlihat tak terima karena hampir semua koleksi barang bekas saya menjadi sasaran inspeksinya. Sampai akhirnya saya pasrah, dan hanya menyaksikan plastik polybag besar yg tadinya kosong hingga terisi banyak seperti ada mayat manusia dewasa di dalamnya, sambil berimajinasi besok pagi tukang sampah akan sangat berterimakasih pada saya karena dia dapat memilah banyak benda ‘berharga’ yg saya buang. Pacar saya masih beres-beres, diam-diam saya berpikir. Oh jadi mengikhlaskan itu seperti ini. Sakit. Tapi perlahan pikiran saya terasa ringan melihat kamar kost yg semula berantakan dan pengap kini menjelma menjadi kamar yg benar-benar kamar dan layak dihuni manusia, apa lagi mahasiswa semester akhir seperti saya yg sangat perlu konsentrasi untuk mengerjakan banyak project. Tata letak yg rapi serta eliminasi barang-barang antik menambah luasnya kamar saya. Kini saya bisa bermain bulutangkis di kamar sendiri. *loh
    Walau pun pacar saya suka kebersihan, tapi kami belum fasih memanfaatkan barang bekas agar berguna, yg saya tahu hanya menyulap botol air mineral bekas atau kaleng bekas menjadi celengan dan tempat pensil. Hihi. Jika saya adalah orang beruntung yg mendapatkan buku itu, maka kamar saya tidak lagi kamar kost biasa atau lapangan bulutangkis, melainkan mini gallery. 🙂

  • Holly Cahya

    25.09.2016 at 12:20 Balas

    Obesistuff. Aren’t we all ya Mbak Dee?

    Seprihatin apapun kondisi dompet, selalu ada dana buat beli notebook lucu, because the apple drawing on the cover looks super cute. Atau segenggam stabilo warna-warni, because the colors are pretty like rainbow, and everyone loves rainbow..

    Sepadat apapun kondisi lemari penyimpanan, selalu bisa disediakan tempat untuk kotak high heels nomor kesekian, karena yang ini glossy dan lebih sexy dan siapa tahu high heels yang lain patah kan, and hey there is no such thing like too many shoes.

    Barang baru ditumpuk bersisian dengan yang baru. Yang baru mengantri untuk dipakai. Yang lama tak tega untuk dibuang. Ada pula yang bahkan price tagnya belum sempat dilepas bertahun-tahun karena memang tak pernah dipakai sejak membeli.

    We don’t buy because we need these stuff. We buy because we can.

    I think online shop makes it worse. With super friendly, “iya kak, spreinya bahannya lembut dan adem kak. Terserah kakak mau motifnya gimana nanti kami buatin,” it’s hard to resist these days temptations. Everyone can be Rebecca Bloomwood, because it’s easy to be like her. We don’t have to roam the mall or pasar tanah abang. We just sit back, type and click few pads, and voila the dreamy sprei dengan wajah Keanu Reeves is there on our doorstep ready to be laid on.

    Keinginan untuk terus membeli dan ketakutan untuk menyingkirkan yang sudah tak lagi dibutuhkan bukan lagi hanya sebatas tentang konsumsi diri, tetapi juga tentang penataan diri dan jiwa. Marie Kondo pasti bisa berbagi banyak hal tentang ini ya, Mbak Dee.

    • Dee Lestari

      25.09.2016 at 12:23 Balas

      OMG. Sprei dengan wajah Keanu Reeves?? :)) #salahfokus

  • Dewi Kustati

    25.09.2016 at 12:17 Balas

    Saya baca artikel ini di tengah-tengah waktu membereskan kamar. Karena bingung banyak sekali barang di kamar dan harus memutuskan untuk membuang sebagian demi agar kamar nggak sempit, saya malah duduk-duduk di kasur dan buka ig
    Eh taunya dipertemukan dengan artikel mbak dee yang langsung bikin ngiler sama buku ini.
    Saya juga mengalami hal yang sama untuk kasus penimbunan buku, tapi untuk buku yang direkomendasikan oleh mamak suri saya rasa bisa jadi yang pertama dibaca menyalip daftar antrian lainnya.
    Marie Kondo, help me!

  • Eva Farahdiba Nurul Adha

    25.09.2016 at 12:08 Balas

    Teman-teman menyebut saya seorang yang detail, yang bahkan untuk urusan chanel tv saja ditulis besar-besar di kertas dan ditempel di dinding. Mereka bilang “Jangan-jangan kalau ada barang kamu bergeser setengah senti saja dari tempat semula, kamu pasti tahu.”
    Saya menyadari, menjadi rapi dan menempatkan/ menata sesuatu (barang) pada tempatnya tidak hanya akan memudahkan kita ketika kita membutuhkan barang tersebut suatu waktu. Akan tetapi, hal itu juga bisa meningkatkan mood dan membentuk kebiasaan baik. Selain itu dapat pula menaikan tingkat kenyamanan orang-orang pada diri kita pribadi maupun ketika singgah di tempat kita.
    Dan.. Rasa-rasanya buku ini akan sangat bermanfaat guna membentuk (bagi yang belum rajin berbenah) dan meningkatkan (bagi yang mulai rajin berbenah) kebiasaan baik tersebut.
    Akan sangat senang sekali, jika saya menjadi salah satu pemilik dan mengaplikasikan langsung isi buku tersebut. 🙂

  • Galuh A.P

    25.09.2016 at 12:04 Balas

    Ketika membaca resensi ini, saya jadi teringat hal apa yang pasti saya lakukan ketika berbenah. Sebelum membuang barang yang sudah tak terpakai, kerap kali saya mengingat kembali kapan dan dari mana barang tersebut saya dapatkan. Tak heran ketika saya berbenah pasti membutuhkan waktu yang agak lama, karena kadang kala ada rasa bimbang untuk membuang dan memang seperti bernostalgia kembali bersama barang-barang tersebut. Sampai-sampai ibuk selalu memarahi saya karena terlalu lama berbenah padahal barang yang dibenahi cuma sedikit.

  • amalia irmaningtyas

    25.09.2016 at 12:03 Balas

    beberes adalah hal yang saya sukai, alhamdulillah bertemu dg pasangan yg jauh lebih senang beberes, serba minimalis dan praktis.

    sampai punya rumah, punya anak, dan bahkan akhirnya sering pindah2 rumah krn mutasi dikerjaan, beberes menjadi kegiatan yg selalu kmi lakukan.

    makanya sangat tertarik dg bahasan buku ini, namun sedikit terkesima dengan bahasanyg membawa kegiatan berbenah kepada level yg lebh dalam. benar juga ya, berbenah pasti ada korelasinya dengan polapikir atau bahkan karakter seseorang.

    nah, itulah yg ingin saya gali lebih dalam dengan buku ini.

    thanks to mbak dee yg mengusulkan agar penerbit membuat terjemahannya, dan juga thanks to penerbit krn telahw menerbitkannya.

    saya rasa buku ini baik untuk dibaca sendiri dan jug diberikan pada orang yg qt sayangi

  • Juneka

    25.09.2016 at 12:00 Balas

    Saya hampir meyakini kalau orang berzodiak Gemini, seperti saya, suka sekali mengoleksi banyak hal. Mulai dari struk, boardingpass, kartu nama, bahkan (saya lihat dulu apa saja yang berserakan) buku catatan liputan yang semestinya sudah harus “dibuang”. Tapi, ya itu, ada rasa eman-eman. Sayang kalau dibuang dapatkannya mungkin susah. Seperti meyakini diri terlahir sebagai kolektor. Pernah pula saya bertemu dengan seorang berzodiak gemini yang juga punya tumpukan majalah Tempo edisi lama, tahun 1980an. Dia juga bilang begitu, sayang kalau dibuang.

    Nah, berkaitan dengan buku yang mbak Dee review itu sepertinya amat berguna bagi kami ini. Si kolektor. Setidaknya bisa membuat kami sadar betapa rapi-rapi atau berberes itu penting. Bahkan, bisa jadi tergugah pula untuk berbagi dengan yang lain.. terima kasih….

  • eka septiani

    25.09.2016 at 11:56 Balas

    Saya lgsg beli bukunya sesaat setelah postingan IG nya mba dee ttg buku ini… nyari2 di gramed penuh harap dan cemas… buku mana.. buku…mana tuh si kondo.. sejurus menuju komputernya gramed… huwaaa stock msh 22… akhirnya ketemu jg… tengah membaca smpe hal 13 tp rasanya udah mau mati… ga tahan… beneran ga tahan… krn hr ini hr minggu rasanya pen lgsg cuss k kantor… buka komputer.. pengen rapihin file2 komputer… mo buangin berkas2 yg yg menuhin lemari… udah hampir 3 bulan laporan ga beres2… otak buntek… pulang kerja bawaannya capek… pdahal ga jelas apa yg dkerjain… aku udah nemu nih setannya.. ada dilemari kerja ku sendiri.. di laci.. dikolong meja.. penuh tumpukan sepatu2 yg ga aku pke.. krn dkantor aku suka nya nyendal… di hardisk kompi… file foto.. nyampur sm file kerjaan.. nyampur sm file resep masakan.. yg entah kapan akan d coba… huwaaaa …. im dying here… please help…

  • Arfino Restu Alam

    25.09.2016 at 11:51 Balas

    Saya baca ulasan ini singkat saja, dan ini adalah buku yg belum pernah saya temui. Mungkin karena saya kurang gaul, tapi bahkan buku seperti change your habbit (bukan nama sebenarnya, hanya pengaburan nama) tidak mengajarkan esensi dari let it go.

    Selalu let it go itu bermakna pada individu dengan individu yang sebelumnya memiliki hubungan, bukan let it go pada individu pada masyarakat, terkhusus yang kurang dibawah kita (meskipun selama ini kita selalu berpikir bahwa diri ini juga masih kurang).

    Pantas penulis ini mendapat penghargaan. Saya hanya membaca ulasan dan mendapat esensi dan keinginan akan buku itu, ‘boy, buku ini buku revolusi pandangan, mengubah cara pandangnya kita terhadap kepemilikan, dimana dunia ini merobek mulutmu dan menghisap kantongmu untuk memasukkan semua benda (yang tidak dibutuhkan dan yang dibutuhkan) ke dalam perutmu, dan kamu ngga nolak. It’s time for change, give that all things, for others happiness’

    Ini pengemasan yang bagus, untuk merubah pola pikir kita yang selama ini enggan untuk melepas benda, yang bahkan kita tidak butuhkan. Pantas salah satu penulis kesukaan saya sampai harus merayu bentang pustaka. Haha, pasti sangat menggugah hati Mba Dee. Congrats Mba tulisan review-nya dimuat, dan thanks for review, saya jadi dapat Ilham Haha.

  • Yaumil

    25.09.2016 at 11:47 Balas

    Halo, Ibu Suri.

    Dulu, saya selalu nyari pembenaran tiap kali ngeliat kamar saya yang berantakan. Ini gara-gara artikel yang pernah saya baca, yang bilang bahwa ciri orang kreatif itu bisa dilihat dari kamarnya yang berantakan. Seakan orang kreatif itu anti-keteraturan, berpikirnya cepat, jadi ga sempat nyusun-nyusun dan menata barang. Nah, karena saya ingin jadi orang kreatif, saya amini mentah-mentah pendapat itu. Kondisi kamar yang berantakan, saya biarkan apa adanya.

    Padahal.. ga jarang saya malah sumpek dan ga bisa mikir, ngeliat barang yang berserakan di kamar saya yang ‘kreatif’ itu. Kebanyakan distraksi, macam bayang-bayang kenangan yang tak kunjung padam. Huft.

    Ujung-ujungnya saya cuma ambil laptop dan barang yang sekiranya perlu aja, sepasang headset dan buku catatan, sambil ke luar kamar dan ngerjain semua hal di sana. Ke tempat yang minim distraksi. Karena pada dasarnya, yang penting adalah apa yang kita butuh, bukan yang kita ingin.
    Ya kan, Bu Suri?
    Hehe.

    Dan juga, sekarang saya sadar. Saya butuh semacam panduan untuk menata saya dan kamar saya, jadi kreatif bukan ‘kreatif’. Ya kan, Bu Suri?
    Hehe.

  • Sayekti Ardiyani

    25.09.2016 at 11:46 Balas

    Untuk pakaian, kadang saya berpikir satu baju masuk lemari harus ada satu baju yang keluar, jadi tidak ada penumpukan. Masalahnya kalau ada baju yang menurut saya unik, besok buat anak kalau sudah dewasa, ada kenangan kelak, “ini baju ibu waktu muda,” nah penyimpanan yang tepat gimana, sementara anak semakin dewasa juga butuh penyimpanan barang2nya juga?

    Kemudian soal buku, kalau buku tak akan pernah kami lepas, ini harta paling berharga buat kami. Kami hanya butuh merapikan dan menempatkan di tempat yang tepat, maklum masih tinggal dengan mertua 🙂

    saya sering berpikir, ketika anggota keluarga semakin bertambah niscaya barang di rumah pasti bertambah. Gaya hidup minimalis penting diterapkan, namun untuk barang2 ‘penting’ ‘penuh kenangan’ tentu tak bisa dihindari harus di simpan. Belum lagi soal kesibukan, tak bisa setiap hari berbenah. Sering merasa iri melihat rumah yang bisa begitu rapi juga lapang, bagaimana mereka yang sibuk tetap bisa membuat rumah mereka rapi meski tanpa asisten rumah tangga? Sungguh ini yang membuat saya penasaran. Apakah di buku ini saya bisa menemukan jawabnya?

  • Arhanuddin Salim

    25.09.2016 at 11:44 Balas

    Buku ini menarik, karena direkom oleh org yg istimewa, Dee. Bgi saya Dee sdh membri ruang khusus, perspekif berbenah yg jauh lbh konfrehensif utk memahami isi buku ini. Kekuatan buku ini menurt saya, krn penulisnya berhasil mengangkt tema tak terpikirkan olh kbnyakn org, tema yg speleh tpi susunghnya menjdi sentrum dri problem manusia modern. Konsumsi brang, imaji, citra dan rasa adlh episentrm mc modrn. Hastat ingin memiliki dan menguasai tetutama brang2 pelngkp eksistensi kemanusia menjdi penting adanya bgi mc modern. Berbenah dan beres2 adalh hal pling satir yg kdng tdk menjdi prioritas utama agenda kehidupan. Sehingga, wjar klo hidup kita dikelilingin oleh bekas2 atau brng hasil jarahan nafsu konsumeris, yg kian melilit kejiwaan kita. Keteraturan akibat berbenah adalah bgian dri sisi terdalm kemanusian yg sdh terlupakan. Bolh jadi, penulis buku ini ingin mengingtkn kita semua tentang ke-alpaan kita untuk segera berbenah dan berberes2, untuk keluar dari kepungan dan penjara nafsu konsumtif kemanuasian.

  • Adven Sarbani

    25.09.2016 at 11:32 Balas

    Ternyata dalam kegiatan beres-beres pun ada seni. Trims Dee sudah mengantar Maria Kondo ke pembaca Indonesia.

    Benar kalau dikatakan bahwa barang-barang yg kita pilih dan kita simpan berpotensi mencerminkan siapa diri kita. Menghargai barang-barang yg telah pilih, menyimpan barang yg membuat kita bahagia dan mengikhlaskan barang yg sudah tak lagi dipakai itu ternyata bisa mengubah diri kita. Menarik dan sangat-sangat masuk akal, apalagi kalau kita ingat para rahib zen, biarawan, biksu, serta para pelaku spiritual dari berbagai agama dan budaya mereka semua umumnya hidup sangat sederhana. Tak memerlukan barang bertumpukan, tak meribetkan merek dan gengsi kekayaan materi.

    Dari tradisi agama Katolik, gaya hidup sederhana dan tak terikat itu sebenarnya sudah mengakar lama. St. Ignasius Loyola mengajarkan supaya kita bisa hidup lepas bebas. Tak terikat pada benda material. Semua benda itu bermanfaat sejauh sebagai sarana memuliakan Tuhan.

    Pada satu titik kita bisa menemukan keterhubungan antara filosofi seni beres-beres Marie Kondo dan ajaran-ajaran para guru spiritual yg telah lepas bebas dari keterikatan ilusi benda-benda material.

    Disini kita bisa sadari kalau Marie Kondo seperti Yoda, dan kita adalah para Jedi yg belajar padanya untuk seni beres-beres. Kita belajar spiritualitas di hidup sehari-hari.

  • Sherly Tanaga

    25.09.2016 at 11:26 Balas

    Selesai baca review buku ini, sebagai orang yang bukan well organize things, langsung lirik ke berbagai tumpukan yang ada di rumah. Baju-baju, sepatu, printilan kecil-kecil termasuk nail polish, dan makanan/minuman. Terhenyak setelah ingat salah satu merk kopi fav mengeluarkan limited edition (sempet lupa taro mana & ketumpuk) padahal waktu belinya susah dapet tapi sekarang ga bisa diminum lagi karena expired. So saddd. Same goes to baju, beli lupa taro di (tumpukan) mana, waktu ketemu sudah ga bisa di pake, tapi baju lama yang ga mau di pake selalu ketemu. Belum lagi dengan pembenaran yang mbak dee tulis di atas “semuanya terpakai, kok”, “semua ada gunanya”, “sayang dong”, dst plus “belum ada waktu aja buat beberes nih..”. Saya termasuk orang yang entah kenapa terpilah ingatannya by moment, jadi sulit sekali melepas barang apapun karena terlalu banyak pembenaran mengenai moment tersebut, dan saat ini telah memasuki masa kesal karena berantakan-tapi-gatau-harus-mulai-dari-mana. Sebagai wanita modern saat ini (*ciee), bukankah lebih baik jika handal mengatasi masalah tidy up juga? And all i need this time adalah magic hand untuk beberes, mungkin dengan adanya buku ini dapat mengubah rasa ‘tega’ saya terhadap barang serta lebih bersyukur sehingga membantu mewujudkan resolusi menahun saya: well organize in all aspect 🙂

  • Irma nurmayanti

    25.09.2016 at 11:15 Balas

    Kamar mu adalah kepribadian mu. Begitu salah satu sahabat jiwa saya sering mengingatkan saya.
    Fungsi pakaian adalah untuk digunakan, maka jika dia hanya tergantung berbulan bulan bahkan tahunan tanpa mendapatkan giliran di pakai, artinya ia sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya, sebaiknya diberikan saja kepada mereka yang bisa membuatnya kembali berfungsi…, as simple as that…
    pemaparan yang singkat dan padat itu, membuat saya yangawalnya cuek dengan apapun kepemilikan saya di kamar, menjadi berubah pikir…
    Tiba saat untuk merelakan apapu yang kepemilikan saya di kamar yang sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya…, itu moment yang luar biasa.
    Kenapa?
    Karena saya menyadari betapa kemelekatan saya terhadap barang barang saya begitu tinggi, bahkan terhadap barang yang jelas jelas sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya…
    Kesadaran saya bangun, saya mendapatkan wow effect, betapa indah perasaan saya saat akhirnya dengan kesadaran penuh bisa melepaskan diri dari kemelekatan yang memang tidak seharusnya…

  • Desi Yunita

    25.09.2016 at 11:07 Balas

    Buku, merupakan benda paling “spesial” yg selalu membuat dilema. Sejak menikah dan langsung punya momongan, buku cuma jd tumpukan yg tetap menjadi hutang utk dibaca. Masih ditemukan buku masih terbungkus rapi dr toko. Semua itu sayaaanggg utk disingkirkan. Sepertinya buku konmari ini yg sy butuhkan sekarang..

  • Nugroho Adi Pramono

    25.09.2016 at 11:02 Balas

    Ehm, kalau punya buku ini nanti jadi gak punya alasan untuk bikin ruang loteng berantakan, 🙂

  • Arie Rahma

    25.09.2016 at 11:00 Balas

    Hampir tiap dua tahun sekali kami harus pindah. Dari satu kota ke kota lainnya. Dari satu pulau ke pulau lainnya. Dan pada saat inilah, kami akan bertemu dengan fase beres-beres atau yang lebih senang kami sebut sebagai fase berkemas. Pada fase ini juga kami ditantang untuk jeli memilah dan memilih, mana yang penting untuk dibawa dan mana yang hanya terlihat penting untuk dibawa. Meskipun sering kali kami masih terjebak dengan benda-benda yang terlihat penting untuk dibawa tadi. Yah, kami seharusnya belajar tentang seni beres-beres. Oleh sebab itu, kami berharap semoga beruntung untuk mendapatkan buku ini. Buku yang kami rasa akan sangat membantu dalam fase berkemas kami _/|\_

  • Reny Gunarsa

    25.09.2016 at 10:57 Balas

    Sejak seusia SD, saya sudah hobi membersihkan rumah ,seorang diri sibuk merapikan bahkan kadang2 iseng menata ulang barang atau furniture supaya terasa ada perubahan di rumah. Biasanya setelah melakukannya saya merasa puas dan happy. Saya juga suka membeli buku-buku yang ingin saya baca entah kapan sampai suatu saat saya sadar kalau dua lemari tinggi untuk menyimpan koleksi buku-buku saya sudah penuh dan terlihat tidak rapi. Akhirnya saya sempatkan waktu beberapa hari untuk memilah buku-buku yang tetap ingin saya miliki dan singkirkan untuk nanti saya berikan kepada orang lain. Ternyata kegiatan itu tidak hanya baik untuk lemari buku saja namun saya menyadari rasa’lapar’ di dalam diri saya sehingga sekarang saya lebih menghargai dan damai dengan apa yang sudah ada dan saya lebih selektif dalam membeli sesuatu, apakah itu buku, baju,makanan, sepatu, dll. Kalau hanya sekedar rasa ingin lebih baik saya tunda dulu untuk membelinya.

  • Syukri Rhamdani

    25.09.2016 at 10:57 Balas

    Mungkin dengan buku ini bisa membuat perubahan dalam hidup saya, yg terbiasa berantakan. Krna terkadang bingung untuk memilih antara menyimpan dan membuang. Terkadang beberapa barang yg terlihat ga penting tapi memiliki kenangan yg berharga, yg bisa membawa kita kembali lagi dimasa lampau yg penuh perjuangan dan kebahagiaan. Tetapi ketika memutuskan untuk menyimpan malah terkadang terlihat berantakan. Karena byk tumpukan2 yg tersimpan begitu saja.

  • Prihatiningsih

    25.09.2016 at 10:54 Balas

    Baca resensi buku ini langsung tertampar.

    Aku tipikal orang yang suka nyimpen2 barang. Baju yang nggak pernah dipakai, buku yang bahkan masih terbungkus plastik, majalah langganan yang disentuh pun enggak, souvenir acara kawinan, boks2 barang elektronik (seriously, I keep those things #lelah), dan kosmetik atau peralatan mandi yang nggak pernah cocok dipakai. Termasuk foto seseorang di masa lalu yang sayang mau dibuang #dhuarr

    Beberapa waktu lalu baca artikel tentang konsumerisme dan gerakan minimalis. Gerakan minimalis mengajak kita untuk memiliki barang yang benar2 dibutuhkan saja. Dibutuhkan ya, bukan diinginkan. Seorang penganut paham minimalis dari Jepang bahkan sanggup hanya memiliki 4 pasang baju aja. Wow. Selesai baca artikel langsung beres2 kamar, dan menghasilkan 2 bag besar barang untuk didonasikan, dan entah berapa banyak barang untuk dibuang. Still, I have lots of useless things in my room. Beneran butuh banget belajar berbenah ala Marie Kondo. Butuh banget belajar nyimpen barang yang bener, butuh banget belajar melepas barang2 yang nggak aku butuhin. Mungkin kalo udah belajar berbenah, aku bisa juga belajar ikhlas melepas masa lalu #ehgimana

  • Nisrina

    25.09.2016 at 10:48 Balas

    Usai membaca ulasan ini, saya teringat dengan tumpukan buku dan baju yang ada di dalam kamar kost saya. Ada rasa enggan dan kalimat “Nanti dulu, toh belum mau pindah,” tiap kali saya berpikir untuk mengurangi tumpukan barang itu. Semoga saja setelah membaca buku ini, saya jadi lebih berani untuk menyingkirkan barang tak terpakai, juga bisa berpikir ulang tiap kali berencana memberi hal-hal yang sebetulnya belum saya butuhkan. Tidak sabar untuk membacanya 😀

  • Lia Lestari

    25.09.2016 at 10:47 Balas

    Saya hobi menyimpan. Saya punya tumpukkan kotak sepatu bekas yang saya bungkus kertas kado, sebagai tempat menyimpan barang-barang yang menurut saya sayang (atau belum waktunya) dibuang. Termasuk kacamata yang sudah patah dua gagangnya, sekantung manik tasbih yang putus, dan beberapa struk belanja.

    Ada saatnya saya kesal melihat barang-barang layak buang, dan mulai membenahi satu-satu. Tetapi keseringan berakhir dengan ‘besok dibenerin deh’ ‘ini masih bisa dipakai’ ‘loh, ini dicariin dari kemarin’ ‘kali aja besok butuh’.

    Rasanya menohok sekali membaca review mba Dee ini. Rasanya kok ini bukan hobi menyimpan, tapi penyakit menyimpan.
    Haha.. saya malu. Sungguh.

  • Merina Rosa

    25.09.2016 at 10:37 Balas

    Saya punya masalah besar dengan memilah dan merapikan, tidak hanya barang-barang (terutama buku!!!) dan file (foto, film, dsb) tapi juga orang-orang dan kenangan (termasuk luka di masa lalu).
    Buku ini, bahkan hanya membaca reviewnya saja sudah mengajarkan hal penting, fokus pada apa yang ingin kita simpan… “jika sudah tidak lagi bisa membawa rasa bahagia, maka lepaskanlah”. Ah, tidak sabar rasanya ingin membaca keseluruhan buku ini dan belajar memilah dan merapikan (hidup?).
    Terimakasih Ibu Suri ^_^

  • Safira Nys (@safiranys)

    25.09.2016 at 10:32 Balas

    Lalu, aku baca post ini sambil dengerin lagu Tulus – Pamit. Pas banget deh, kata mbak Dee: “Jika barang itu sudah tidak lagi menimbulkan rasa bahagia, maka lepaskanlah.” Kalau kata Tulus, “Jangan paksakan genggamanmu” cenah.

    Aku punya keluarga yang punya pola pikir ‘simpen dulu aja, nanti pasti butuh’, dan mbak Dee juga taulah buah mah nggak akan jatuh jauh dari pohonnya. Seikhlas-ikhlasnya aku melepaskan barang yang udah nggak berguna; cuma potongan masa lalu, beberapa barang masih ada aja yang disimpan meski nggak tahu untuk apa.

    Manusia itu rumit, ya. Sudah tahu nggak akan berguna juga masih saja disimpan.
    Baca post ini, aku baru sadar juga bahwa benda mati bisa memberikan emosi sedemikian rupa kepada manusia.

    Emosi yang ada (antara manusia dan benda mati) itu terlalu kompleks untuk dijabarkan. Juga terlalu kuat mempengaruhi hidup manusia sepenuhnya. Menurutku, orang paling kuat di dunia bukanlah juara olimpiade angkat beban. Tapi yang bisa membenahi emosi dalam dirinya dan mengikhlaskan segala beban dalam hidup.

  • Shella Septiani

    25.09.2016 at 10:31 Balas

    Mba dee, waktu pertama kali mba dee post buku ini di akun insta, aku ketawa. “Monica Geller are really exist”, yap tokoh di serial tv friends yg kadang suka buatku ga abis pikir soal kehausannya ttg beres-beres. Aku belum baca bukunya tp cukup dr review mba dee, rasanya mind blow aja. Beres-beres ternyata bisa merubah hidup, masa?. Mamahku emg paling rewel soal beres-beres apalagi aku mahasiswa FMipa, kdg ga pernah mau nyisipin waktu buat beres beres, meresa ada yg lebih penting ketimbang itu. Well, liat buku ini aku iseng beres beres full day till the limit, sampe buta rasanya masuk ke kamar sendiri saking silaunya karena bersih. Ga disangka bersih, teratur,dan manajemen yg baik bisa bikin mood ngapa-ngapain itu ternyata naik. Wow.

  • Nurul Ramdhiany

    25.09.2016 at 10:30 Balas

    Entah kenapa sebagai mahasiswi baru saya selalu memiliki problem soal ‘benah membenah’ apalagi hidup jauh dari orang tua khususnya Mama membuat saya agak kerepotan. Dari mulai penyimpanan pakaian yg kalau hari minggu rapi sekali (karena saya rapikan), tak perlu waktu lama, senin malam sudah berantakan lagi. Kelimpungan sendiri saat koleksi buku bertambah tapi ruang penyimpanan buku masih segitu-gitu aja, berantakan lagi lah di nakas. Terkadang terselip di tumpukan baju dan yang lucu kalau membereskan buku adalah selalu dibaca lagi, padahal sudah berulang kali baca buju tersebut. Akhirnya gak selesai-selesai. Belum lagi soal barang-barang kecil yg perlu disingkirkan atau tidak, lamanya ‘ritual benah-benah’ bukan disebabkan oleh banyaknya barang yg saya miliki, tapi kelamaan mikir ‘ini barang masih kepake ga ya? Tapi lucu, sayang kalo dibuang. Eh tapi storage udah penuh’. Alhasil di sabtu malam, saat teman-teman mengajak keluar, saya memilih membereskan kamar yang berantakan itu.

  • Riwansia

    25.09.2016 at 10:28 Balas

    hihi.. pernah ngalamin sih pertama kali denger istilah Konmari itu sekitar setaun lalu dari tante via YouTube. kebetulan sebelum berangkat ke Thailand, ada beberapa yang gue terapin dan emang ngefek. truly a life saver.

  • Awal Hidayat

    25.09.2016 at 10:26 Balas

    Saya baru saja pindahan rumah beberapa hari yang lalu. Beberapa barang hanya diletakkan begitu saja. Tidak serampangan juga sih, hanya begitu apa adanya. Seni beres-beres (that’s a new thingy in my mind kalo itu state of art juga), seharusnya saya banyak belajar untuk merapikan sejumlah perabotan di rumah. Atau paling tidak di kamar tidur. Buku-buku masih ditumpuk di dalam kardus, and i still dizzy how to make it eye-catcing. I’m really glad this book turns to translation version. 🙂

  • mandewi

    25.09.2016 at 10:26 Balas

    Sebagai anak kos yang boros, saya (akhirnya) sedang berada pada titik ketika saya tidak punya ruang yang cukup untuk tidur telentang di lantai. Yup, you heard me right. Barang-barang berserakan di mana-mana, berantakan, dan ditambah beberapa alasan saya sering sekali merasa, “Saya nggak tahan melihat kondisi kamar yang seperti ini. Tapi saya harus mulai dari mana?”

    Pertimbangan lain yang membuat berberes ini menjadi (tiba-tiba) sangat penting adalah kemungkinan saya berpindah-pindah kota baik untuk melanjutkan kuliah atau karena mutasi (pekerjaan). Ketika saat itu tiba, tentu pindahan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah dengan barang-barang yang sebegini banyak.

    Pertanyaan beres-beres-harus-dimulai-dari-mana berakhir hanya sebagai pertanyaan karena benar kutipan di atas, bahwa mengikhlaskan justru lebih sulit daripada berbenah. Ada rasa sayang dan takut kalau barang yang dibuang ternyata saya butuhkan di kemudian hari. Bila benar terjadi, apa saya harus beli lagi?

    Fiuh, momen saya merasa harus segera membereskan barang-barang dan momen saya mengetahui buku ini bersilang jalan pada saat yang tepat. Saya butuh motivasi, tuntunan, cara. Dari cerita yang diungkap di atas, saya yakin buku ini akan bisa menjadi motivator/penuntun/penunjuk cara yang paling tepat bagi saya.

    (@mandewi)

  • Nurmuliayanti

    25.09.2016 at 10:25 Balas

    Saya baru mengenal buku ini setelah membaca review mbak ini. Saya nga pernah menyangka bahwa kegiatan sehari2 yang banyak menyita waktu,ruang dan pikiran saya ini dapat menjadi satu buku yang mampu menginspirasi sekaligus membantu saya atau jutaan orang khuhusnya kaum perempuan yang baiknya memiliki keterampikan beres-beres tersebut. Saya sering kali merapikan barang-barang saya meski ketika tiba waktu dimana ia menumpuk kembali barang2 yg kmren saya anggap masih dapat sy pertahankan akan menjadi barang2 yg telah tiba masanya untuk saya lepaskan. Saya sangat sulit untuk melepaskan sesuatu contohnya sperti tumpukan kertas bahan kuliah saya,meski seiring waktu sy akan memilih melepaskannya,tapi tenti saja setelah saya menganggap bahwa bahan2 kuliah tersebut telah memiliki bentuk lain sperti buku atau soft file. Soft file sperti ya satu bagaian yg sy kurng perhatikan yaitu berberes file2 di laptop atau pc, ooooo thanks mbak, tulisan mbak membuat saya bnyak merefleksikan ke diri saya, its time too ‘membereskan’ isi kepala saya yg seribet isi laptop saya hehe thanks mbak…..

  • Ayu Apriyani

    25.09.2016 at 10:18 Balas

    Aku paling susah berbenah rak buku dan lemari baju mbak, biasanya meskipun sudah dipilah mana yang akan tetap dipakai mana yang akan dibuang, berakhir dengan menemukan barang yang baru sadar aku miliki terus merasa sayang karena belum pernah dipakai, kalopun berhasil membuang yang tak lagi terpakai, biasanya suka gatel pengen ngisi spot yang kosong dengan barang-barang baru. Suka gemes sama diri sendiri jadinya. Suatu saat kali punya uang lebih aku kayaknya ingin ikut antri jadi kliennya Marie Kondo juga kayaknya haha, ngerasain sensasi membayar orang profesional untuk berbenah, kedengarannya menarik haha. Makasih reviewnya mbak, aku jadi makin ingin baca dan memulai berbenah lagi. Btw, have a nice day mbak!

  • Tita fatmawati

    25.09.2016 at 10:15 Balas

    Pada saat kak de lestari memposting buku ini di ig, saya sangat tertarik. Dan bersyukur sekarang ada terjemahan bahasa indonesianya.
    Saya memiliki permasalahan seputar lemari baju dan rak buku. Yang rasanya, tidak pernah bisa bertahan rapih dalam waktu lama 🙁

  • Kukuh Pribadi

    25.09.2016 at 10:15 Balas

    saya seorang fotografer dan mahasiswa pascasarjana di salah satu kampus negeri di Jogja. acapkali saya menghadapi kondisi memuakkan ketika masuk ked alam kamar kost ukuran 3x4meter saya. rasanya sudah berkali-kali saya bersihkan dan rapikan namun tetap penuh sesak dan kurang rapi. ada kalanya timbul kesadaran bahwa “oh ini harus dibuang” namun akhirnya berakhir dalam kardus indom** dan ditumpuk dipojokan kamar, sungguh menyedihkan, namun itulah kenyataannya. ketika membuka file eksplorer di komputerpun saya juga mengalami kendala yang sama, tumpukan file foto berformat RAW yang hampir memakan seluruh storage hardisk yang tersedia, ratusan judul film dan anime yang sudah tertonton maupun yang tak jadi ditonton ikut-ikutan menyesaki storage, tapi mau didelete kok sayang.. sebuah dilema… mudah-mudahan buku ini memberi jawaban bagaimna cara bersih-bersih yang sebenarnya..

  • Dwie Rahmatanti

    25.09.2016 at 08:58 Balas

    saya sudah lama menantikan buku ini dalam Bahasa Indonesia Mbak Dee. Saya termasuk yang senang melihat video-video youtube cara berbenaj ala Konmari. Salah satu yang sudah saya praktekan adalah membereskan lemari baju. Masih butuh waktu untuk bisa membereskan bagian buku. Soalnya bakal nguras emosi juga memilah buku-buku yang banyak banget XD
    Tapi memang kita kebiasaan fokus ke menyingkirkan barang ya..daripada menyimpan barang. Jadi dapet insight lagi nih ketika berbenah nanti.

Post a Reply to amalia irmaningtyas Cancel Reply