Menulis Sehat – Part 1: Identifying the Malware
Kebiasaan menulis adalah perumusan personal. Ada yang baru lancar jika bertemankan kepulan konstan asap rokok, ada yang harus mereguk bergelas-gelas kopi, ada yang butuh kesunyian, ada yang butuh musik, ada yang harus di kafe, ada yang ingin sendiri, dan seterusnya. Setiap penulis memiliki cara ideal masing-masing dan mungkin tidak akan pernah kita temukan konsensus metode menulis terbaik. Namun, satu hal yang pasti. Penulis mana pun tidak akan diuntungkan oleh tubuh dan mental yang sakit.
Uniknya, profesi penulis justru kerap berasosiasi dengan sakit dan derita. Bandingkan dengan profesi atlet, misalnya. Sudah sewajarnya atlet harus sehat dan bugar. Tapi, penulis?
“Writing is a socially acceptable form of schizophrenia.” – E. L. Doctorow
Citra penulis akrab dengan depresi dan kesendirian. Konon, penulis membutuhkan kesengsaraan untuk ia transformasi menjadi mahakarya. Penulis adalah semacam Midas yang menyentuh problem, kesakitan, bahkan kegilaan menjadi royalti. Menurut penelitian selama 40 tahun dari Journal of Psychiatric Research, seorang penulis memiliki kecenderungan bunuh diri dua kali lipat dibandingkan non-penulis. Ernest Hemingway, Virginia Woolf, Sylvia Plath, adalah penulis-penulis besar yang mengakhiri hidup mereka sendiri. F. Scott Fitzgerald, Hans Christian Andersen, bahkan J.K. Rowling tak luput dari problem depresi.
Dari sisi fisik, aktivitas penulis tidak memiliki banyak keuntungan. Identik dengan duduk diam berjam-jam, satu-satunya bagian tubuh penulis yang tampak aktif hanyalah jemarinya. Sementara, riset kesehatan terakhir mengungkap bahwa duduk terlalu lama adalah salah satu ekses gaya hidup modern yang berujung kepada banyak problem kesehatan fatal.
“Sitting is more dangerous than smoking, kills more people than HIV and is more treacherous than parachuting. We are sitting ourselves to death.” – Dr. James Levine
Begadang dan insomnia adalah kondisi berikutnya yang akrab dengan penulis. Kreativitas konon lebih berkobar pada malam hari, dan banyak penulis memilih bekerja selepas langit gelap. Masalahnya, melatonin, hormon yang bertanggung jawab untuk banyak fungsi tubuh termasuk meregulasi gula darah, berat badan, dan berkontribusi kepada kesehatan jantung, otak, serta stabilitas suasana hati/mood (remember that cranky version of yourself when you had little sleep?), hanya akan muncul pada jam istirahat malam hari.
“A single night of sleep deprivation can affect your functioning for up to two weeks. To your brain, sleep is money and the brain is the best accountant.” – EHS Today
Saya cukup sering bertemu mereka yang mengklaim dirinya nokturnal (including myself at some point in life), tapi kenyataannya secara fisiologis manusia tidak didesain untuk menjadi makhluk malam, pun makhluk yang diam. Tubuh kita didesain sebagai makhluk diurnal yang harus cukup bergerak. Kebiasaan begadang, apalagi disertai jam tidur yang kurang, plus duduk statis berjam-jam, dapat mengikis kesehatan secara perlahan tapi pasti.
To sum it up, these are the common “malwares” you’ll find in writing occupations that can sabotage your engine in the long run: penderitaan, depresi, begadang, insomnia, tubuh pasif. Say, why would anybody want to be a writer again?
“I write because I must. It’s not a choice or a pastime, it’s an unyielding calling and my passion.” – Elizabeth Reyes
Pada sebuah talkshow di Bali bulan Oktober 2016, usai mendengar paparan pengalaman saya menulis, seorang pengunjung melayangkan kritik. Ia merasa perjalanan kepenulisan saya kurang merefleksikan penderitaan. Ia, seperti banyak orang lainnya, percaya bahwa kesengsaraanlah yang mampu melejitkan kreativitas seseorang. Buktinya, Pramoedya menulis mahakarya di tengah atmosfer represif yang mengharuskannya dipenjara bertahun-tahun, Chairil Anwar menulis puisi-puisi terbaiknya dalam tubuh ringkih yang akhirnya bertekuk lutut kepada penyakit TBC.
Di forum tersebut, saya lantas menjawab bahwa menulis memang tidak selalu mendatangkan kebahagiaan, tapi saya menolak jika derita dijadikan prasyarat wajib bagi penulis, juga saya tidak melihat perlunya berbagi penderitaan di forum publik. Let me peruse my own misery in my private space. One may be able to find it on a page someday. But, not on a stage.
Tanpa mengesampingkan potensi derita sebagai katalisator kreativitas yang bisa memicu lahirnya penulis masyur dan karya-karya besar, saya percaya penulis berhak penuh untuk tidak (melulu) menderita. Kebahagiaan dan kesehatan adalah pengalaman universal yang berhak dicicipi semua manusia di muka bumi. Profesi penulis tidak menjadikan seseorang menjadi lebih spesial atau lebih terkutuk. Tidak juga ada rumus tercatat bahwa semakin menderita seseorang maka karyanya semakin bermutu. Tidak juga diketahui ada hierarki yang menempatkan penulis yang lebih menderita di harkat lebih tinggi.
I didn’t become a writer to be miserable. I didn’t become a writer because of my misery. I became a writer because of my love for the art of storytelling.
Sebagai sebuah passion, kita bisa mengatakan menulis sudah menjadi panggilan, alami terjadi begitu saja. Namun, sebagai profesi, saya percaya kita bisa memilih bagaimana cara menjalaninya. Prinsip saya sederhana. Saya menjunjung tinggi dan mencintai profesi ini sepenuh hati, untuk itu saya berupaya maksimal menjaga dan menghargai tubuh-batin ini agar saya bisa optimal bekerja.
Konsekuensinya, saya perlu menyiapkan berbagai penangkal ampuh dalam mengelola segala risiko yang rentan menimpa penulis. Maka, berbarengan dengan proses merampungkan setiap manuskrip, saya turut menguji coba metode terbaik yang bisa menggandengkan proses kreatif dengan keseharian tanpa mengorbankan kesehatan fisik-mental yang saya butuhkan demi menunjang keberlangsungan pekerjaan yang saya cintai.
Perlu dipahami bahwa kebiasaan menulis tidak ada yang tetap. Ia berubah sesuai kondisi dan kebutuhan. Kebiasaan menulis saya sebelum dan sesudah punya anak, misalnya, sangat berbeda. Jika sebelum ada anak hidup saya nokturnal, menulis selepas jam makan malam hingga dini hari, setelah punya anak pola kerja saya berubah seiring sejalan dengan matahari, menulis ketika langit masih terang dan menutupnya seiring senja datang. Akan tetapi, di balik perubahan jam kerja, minuman favorit, kamus pegangan, ruangan keramat, dan embel-embel lainnya, saya menemukan beberapa determinan tetap yang mendukung kebiasaan menulis sehat. Sekelumit dari penemuan dan uji coba sepanjang perjalanan lima belas tahun itulah yang ingin saya bagi.
The next tips might not be for everyone, but so far they work wonder for me. Who knows? They might work for you too.
Bersambung ke Part 2: Nourishing the Hardware
wallpaper android
23.09.2017 at 17:17wah.. kayaknyaa enak ya mba jadi penulis 😀
sangat menginspirasi sekali
ebik dei
12.08.2017 at 14:30terima kasih atas inspirasinya mbak.
dari posting ini saya jadi terinspirasi posting blog saya yg mungkin mba dee berkenan menyebutnya feed back dr saya.
https://ebikdei.blogspot.co.id/2017/08/menulis-itu-menyembuhkan-hati-part-2.html?m=1#more
Mas Hartarto
06.04.2017 at 23:25Tidak selamannya penulis hebat harus mengalami pengalaman buruk terlebih dahulu. Bahkan menulis bisa menjadi obat yang mujarab untuk menambah pahala di akhirat dengan informasi yang bermanfaat untuk manusia.
maulani
03.04.2017 at 10:57Ini artikel yang saya butuhkan. Soalnya nggak bisa kalau nggak nyalain sebatang rokok sebelum atau ketika menulis. Dan sekarang, kalau mau menulis saya tidak mau melakukan hal itu. Makasih mbak Dee 😉
Habiburrahman
15.02.2017 at 13:32Pantesan berat badan ngga naik. Ternyata Begadang penyebabnya.
cara komputer
10.02.2017 at 17:33mantap mba. saya juga ingin menjadi penulis. tapi bingung mulainya dari mana :v
Andi
10.02.2017 at 04:48Kegilaan dan kebahagiaan dalam menulis sama sebenarnya. Dua sisi koin pilihan dan jalan melihat dari sudut pandang kemanusiaan. Akan selalu ada dua pilihan dalam menulis. Ke semuanya tetap menuju batas akhir kehidupan: mati. Pilihan yang sama saja akhirnya.
veby
16.01.2017 at 10:48mirip seperti programmer, byk dari mereka lebih suka menulis code di malam hari (begadang
Irsan Junud
07.01.2017 at 09:36ingin membantah, tapi kok ya sependapat. Baiklah, aku menunggu hidangan selanjutnya.
Lievadiar
04.01.2017 at 15:12Terima kasih mbak Dee, ijin share ^^
Toni
02.01.2017 at 19:51Part 2nya sy tunggu mbak.. moga moga ga lama lagi muncul 🙂
whizisme
30.12.2016 at 10:29Ada yang bergumam Kopi adalah Kunci
Kemudian lama telah menjadi Candu Kreatifitas
Karena itu hanyalah kebiasaan untuk jadi lecutan kreatifitas, kemungkinan besar dengan kebiasaan baru yang sehat akan menjadi candu juga. Thanks telah berbagi insight yang asik Mbak…
Firman
28.12.2016 at 00:10Ini seperti seberkas gelombang elektromagnetik yang mencoba menembus hati, kemudian meng-eksitasi sejumlah partikel elementer (yang mempunyai rasa/flavour “passion”; jenis rasa baru dan konseptual, belum pernah ditemukan di laboratorium maupun LHC, :D) untuk bergerak berputar-putar di sekeliling medan keraguan (dalam menulis) dalam menulis di kepala yang bersumber sejumlah muatan mitos menulis (seperti yang disebutkan di atas). Mencoba melemahkan medan tersebut.
Penasaran bagaimana mbak Dee (akhirnya) menemukan kebiasaan menulis terbaiknya, dan bagaimana dilema & turbulensi kebiasaan hidup yang terjadi, serta strategi & usaha yang dilakukan untuk membongkar kebiasaan menulis lama dan berpindah ke kebiasaan menulis yang lebih baik & pas.
Can’t wait for the next ones!
*Anyway, I was also there in Bali on the literary event days, hehe.
Aaddeef
27.12.2016 at 23:57“I know some very great writers, writers you love who write beautifully and have made a great deal of money, and not one of them sits down routinely feeling wildly enthusiastic and confident” (and healthy ? ?) -anne lamott
ana febriana
27.12.2016 at 15:53“Saya percaya penulis berhak penuh untuk tidak (melulu) menderita. Kebahagiaan dan kesehatan adalah pengalaman universal yang berhak dicicipi semua manusia di muka bumi. Profesi penulis tidak menjadikan seseorang menjadi lebih spesial atau lebih terkutuk. Tidak juga ada rumus tercatat bahwa semakin menderita seseorang maka karyanya semakin bermutu” – NICE Ibu Suri!
Beberapa penulis yang saya tahu memiliki karya luar biasa seperti Paulo memiliki latar belakang yang ‘gelap’ dan menderita. Lalu lahirlah karya-karya yang luar biasa. Namun kembali, apakah penderitaan sebagai tolak ukur menghasilkan karya yang hebat? Sepertinya tidak, karena definisi ‘menderita’ saja sudah berbeda tiap-tiap orang. Toh, kebahagian juga bisa membawa lahirnya karya-karya luar biasa. Terima kasih ya Ibu Suri, selalu baik dan murah hati berbagi ilmu. Semoga selalu bertambah ilmu, rizki dan kebahagian Ibu Suri, amin 🙂
Dee Lestari
27.12.2016 at 16:50Amin, amin, amiiin… terima kasih doanya!
Sri Marlani_ Lani M
27.12.2016 at 14:29ibu suri yang baek, selalu memberikan energi positif, yang kadang secara gak sadar kita ikut menyelami apa yang ibu suri post. hal yang kadang selalu terabaikan, padahal sebenarnya adalah sangat penting untuk penulis. kalo sakit siapa yang mau pijit keyboard? hehehe.
semoga selalu sehat,panjang umur dan bahagia lahir batin ibu suri 🙂
Ahmad Husain
27.12.2016 at 12:31☑ depresi
☑ nocturnal
☐ kemampuan menulis
Baru menemukan blog mba dee kembali circa blogspot. Great writing as always!
Dee Lestari
27.12.2016 at 14:44Terima kasih! Semoga menikmati situs blog yang baru ini.
Rose Diana
26.12.2016 at 21:22Suka tulisan ibu suri satu ini. Selalu berbagi informasi yang berguna untuk sesama penulis. Setidaknya, tulisan ini menjawab beberapa pertanyaan yang bersarang di kepala.
Sepertinya saya termasuk orang yang ibu suri utarakan. ?
Mau bagaimana lagi, saya mah gitu orangnya suka menyendiri dengan laptop dan secangkir kopi plus menulis hingga dini hari.
Saya suka dua kutipan ini :
“I write because I must. It’s not a choice or a pastime, it’s an unyielding calling and my passion.” – Elizabeth Reyes
“I didn’t become a writer to be miserable. I didn’t become a writer because of my misery. I became a writer because of my love for the art of storytelling.”
Menulis tidak harus (melulu) menderita untuk menciptakan sebuah mahakarya. Ini hanya tentang passion. Sesuatu yang dijalankan dengan ikhlas dan dinikmati, akan menjadi mahakarya bagi pemiliknya, pun bagi orang lain.
Bagi saya, writing is not about the pain but about the passion.
Reni
26.12.2016 at 20:54Izin share ya mbak? Boleh, kan?
Dee Lestari
26.12.2016 at 21:03Tentu boleh.
Hening Swastika
26.12.2016 at 20:40Ibu suri selalu menggugah. Setuju, Bu! Terutama di poin “I didn’t become a writer to be miserable. I didn’t become a writer because of my misery. I became a writer because of my love for the art of storytelling” ?
Dee Lestari
26.12.2016 at 20:43Terima kasih 🙂
Randi
26.12.2016 at 19:07schizophrenia, wewww…
Ryan H. Suhendra
26.12.2016 at 18:49Sangat setuju dengan (maha)karya tidak melulu lahir dari latar belakang manusia yang mengalami depresi atau apa lah. Pembukaan yang menarik sebagai sebuah tips sehat untuk menulis. Ngomong-omong, apakah dalam penulisan novel pertama, Mba Dee membuat mindmaping/konsep cerita dulu? Dan apakah salah jika kita langsung menulis begitu saja tanpa membuat mindmaping? Nuhun
Fauzan Lubis
26.12.2016 at 18:16Bahas tentang mengembangkan ide dong mba. Banyak temen-temen yang punya ide dasar bagus buat cerita tapi gangerti cara ngembanginnya. Makasih mba~
Dee Lestari
26.12.2016 at 18:21Next time, ya.
Gresa
26.12.2016 at 18:07I’m stupidly clicking the sentence ‘Part 2: Nourishing the Hardware’ thinking it’s a link…… ????
Dee Lestari
26.12.2016 at 18:09Not yet there 🙂
tari
27.12.2016 at 06:35so do I hahaha
Kristiani Oktosa Daputri
26.12.2016 at 18:03Terimakasih mba, sangat menginspirasi sekali,