Ilusi Pensiun Dini

Kata “pensiun dini” adalah salah satu frasa menggugah yang sering dipakai untuk menggambarkan sebuah format kehidupan ideal, sebagaimana “hidup sehat”, “tubuh langsing”, “kulit bercahaya”, “berpikir positif”, dan seterusnya. Sekelompok frasa yang ketika diucapkan dan dikhayalkan terdengar indah, tapi ketika dilihat dengan kaca pembesar ternyata seringkali berbelit dengan banyak kerancuan.

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel tentang kisah pensiun dini seseorang yang keluar dari pekerjaan kantor pada usia 35 tahun, lengkap dengan bekal reksadana, pengalaman cukup untuk sesekali main saham, BPJS Ketenagakerjaan, arisan emas, dan kemudian berangkatlah ia memulai babak baru mengejar proyek-proyek impiannya. Sounds like picture perfect, doesn’ it? Namun, saya justru tertarik pada fase sesudah itu, yang sayangnya tidak diceritakan dalam artikel. Apa yang terjadi pada saat ia mengejar impiannya?

 

Find Your Passion adalah semboyan yang didewakan dan digaungkan di berbagai seminar kesuksesan. Tak cukup cuma jadi angan, bekerja sesuai passion menjadi gol trendi yang harus dituju manusia modern saat ini. “Do what you love, and you’ll never work another day in your life” terdengar amat menggoda. Dalam banyak konteks, konsep itulah yang seringkali ditautkan dengan pensiun dini. Carilah pekerjaan yang kamu cinta, maka kamu tak perlu lagi bekerja seumur hidupmu. Pensiun semakin muda? Semakin luar biasa.

 

Konsep itu begitu brilian sehingga saya pun sempat tergoda untuk mengeksplorasi yang namanya pensiun dini. Sempat saya habiskan malam-malam saya untuk berpikir dan berkhayal, apa yang harus saya lakukan agar bisa sesegera mungkin pensiun dini?

 

Saya pun mulai merenung. Saya memulai karier musik dari umur 17 tahun sebagai penyanyi latar. Saya mulai menulis buku sejak umur 25 tahun. Hmm. Sebentar. Kok, rasanya ada yang tidak pas? Seperti seekor marmut yang berlari semangat memburu kail makanan dan pelan-pelan mulai melihat tali kail yang terikat di ekornya sendiri, langkah saya pun melambat. Jika HANYA mengacu pada primbon passion, saya sudah ada di sirkuit yang benar. So, what was it again that I was supposed to chase?

 

Semakin banyak saya membaca pengalaman orang-orang percontohan pensiun dini, dari mulai yang mengejar passion sampai mengejar downline, saya menyadari sesuatu. Mereka tidak berhenti bekerja. Ini berbeda dengan gambaran pensiun di benak saya, yang selama ini saya bayangkan sebagai masa ongkang-ongkang kaki, bangun siang setiap hari (kalau mau), melakukan segala sesuatu seenak hati, sementara uang terus mengalir. Pada usia muda.

 

Beberapa teman saya yang keluar dari pekerjaan untuk membuka usaha sendiri seringkali berakhir dengan jam kerja lebih panjang dan lebih sibuk dari sebelumnya. Lebih enjoy? Bisa jadi. Tapi, tidak berarti kata “bekerja” dihapus dari kamus kehidupan kita. Ketika kita berhasil menemukan dan melakoni profesi yang sesuai dengan hobi dan passion, demi apa pun, syukurilah itu. Tapi, jangan berpikir bahwa tidak akan ada lagi kerja keras.

 

Sebagai pelakon profesi yang berakar dari hobi, saya tahu betul bahwa selama ini saya bekerja keras, dan masih harus bekerja keras. Ini bukan perbandingan “kerja keras” antara seseorang yang mengetik dan menarik gerobak sampah, which we’re all vulnerable to that trap thus missing the real point (“Ada yang harus ngorek sampah cuma buat makan, dan duduk nulis novel kamu bilang kerja keras?” PLAK!). Poin saya adalah, tidak semua hari kerja saya lantas seindah berlari-lari kecil di taman bunga mengejar kupu-kupu semata-mata karena saya mencintai pekerjaan saya.

 

Ada saatnya saya frustrasi akibat otak panas berbulan-bulan berusaha memecahkan ratusan puzzle peristiwa untuk menamatkan satu cerita. Ada saatnya komitmen menyelesaikan buku terasa bagai pukat harimau. Berkomitmen pada sebuah proyek kreatif bagi saya berarti mengorbankan beberapa hal penting; memangkas kehidupan sosial, menolak banyak tawaran pekerjaan (yang juga berpotensi menjadi uang), dan tak jarang mengorbankan kepentingan keluarga (terpaksa rantangan, pekerjaan sekolah anak-anak yang tidak sempat saya bantu, dan mendengar suara kecil mereka bertanya pada Papa-nya, “Kenapa Mama ngetik terus?”). Pada saat seperti itu, apakah saya masih mencintai pekerjaan saya? Masih. Tapi, apakah cinta itu berhasil membuat saya merasa tidak bekerja? Not in a million years.

 

Merancukan pekerjaan berdasarkan cinta dengan pensiun dini membuat kita rentan tergelincir ke beberapa jebakan. Working is not playing. Kita bisa bersenang-senang dalam prosesnya, tapi sebuah pekerjaan akan tetap punya konsekuensi profesional, termasuk orang yang dibayar untuk bermain seperti pengetes video game sekalipun. Seseorang yang mengejar passion memasak lalu membuka restoran sendiri bisa saja gagal kemudian bangkrut. Pekerjaan selalu memiliki risiko. Plus, tidak ada yang salah dengan kata “bekerja”. Kata itu tidaklah harus (selalu) berkonotasi dengan siksaan, keterpaksaan, dan penjara. Work is work. Don’t overdramatize it. Don’t condescend it either.

 

Dengan menempatkan pekerjaan berdasarkan cinta sebagai, well, sebuah pekerjaan, maka kita pun bisa memperlakukannya secara objektif dari jarak yang sehat. Sebuah pekerjaan butuh cuti, butuh liburan, butuh pembatasan. Jangan campurkan waktu berkualitas bersama keluarga dengan pekerjaan. Jangan rancukan waktu bersosialisasi, ataupun waktu merawat diri, dengan pekerjaan. Seseorang yang tak lagi berkantor di dalam gedung dan kubikel justru harus lebih lihai membuat sekatnya sendiri jika tidak ingin dihantui pekerjaannya terus menerus, meskipun atas nama passion.

 

Saya mendukung segala upaya penataan finansial untuk mengantisipasi masa saat kita tidak lagi produktif. Namun, saya ingin mengajak kita berhati-hati dalam membuat dikotomi antara “bekerja” dan “tidak bekerja karena ini namanya cinta, dan kalau cinta jangan lagi disebut bekerja, tapi sebut aku pensiunan!”.

 

I love my husband, but in a relationship, we need to work things out. And, it’s OKAY to work things out. Love does not make everything effortless. Love does not make things all play and no work.

 

Maka, saya akhiri tulisan ini dengan kutipan yang mungkin tidak terdengar inspiratif, tapi saya percaya beginilah adanya:

 

No matter how you love or loathe your job, at the end of the day, it’s still a job.
Tags:

26 Comments

  • yosa Aldi

    02.06.2017 at 20:25 Balas

    hi mba, saya salah satu pengagum karya mba..
    buat saya pensiun dini itu emg bs dicapai oleh orang2 yang bisa memberi sekat akhir terhadap keinginan.
    syarat mutlak bs pensiun dini itu adalah financial freedom.
    financial freedom relatif buat tiap2 orang.

    nah…jadi menurut saya..
    pensiun dini itu adalah sudah bs melakukan banyak passion/interest tanpa terbentur dengan kepentingan kegiatan cari cukup uang utk membelanjakan keperluan lahir batin keluarga.

    contoh saya :
    financial freedom saya di angka kisaran 200jt/bulan
    saya anggap dgn kisaran 200jt/bulan
    keperluan lahir batin keluarga saya bs tercover (belanja makan, pendidikan, entertaiment, performance, akomodasi lovely things, dll)
    setelah 200jt/bulan settle..
    maka saya pnsiun dini
    bs melakukan banyak hal yg tidak pernah bs dilakukan waktu belum financial freedom, seperti fokus mengejar akhirat, hobi yg bs jadi uang, dll )

    note : 200jt/bln (punya kontrakan 100-150 pintu) hahaa

    setelah punya 200 pintu, saya pensiun dini..
    saya sdh financial freedom..
    saya mau ibadah maksimal, fokus develop pondasi EQ anak2 saya, sama praktik semua video DIY di youtube/pinterest ✌?️

  • Roy Herman

    16.03.2017 at 23:20 Balas

    Salut untuk Ka Dewi, saya paling kagum liat orang punya talenta banyak, bisa nyanyi, bikin lagu, nulis buku, bahkan sampe jadi film. Saya penasaran untuk seseorang yang karyanya sudah sebanyak Ka Dewi, apakah royalti dari lagu, buku dan filmnya yang ka dewi buat bisa disebut cukup tidak terutama dr sisi finansial bagi seorang seniman seperti Ka Dewi.

    • Dee Lestari

      17.03.2017 at 21:50 Balas

      Halo Roy,
      Terima kasih atas apresiasinya. Saat ini penghidupan saya tercukupi lewat royalti. Memang kuantitas karya dan juga oplah penjualan akan sangat berpengaruh untuk menentukan seseorang bisa sepenuhnya hidup dari royalti atau tidak. Tapi, selain itu, kalau kita konsisten berkarya dan punya komitmen untuk terus meningkatkan kualitas, pekerjaan yang datang bukan hanya dari royalti tapi juga dari “efek imbas” karya kita, seperti menjadi pembicara, kasih workshop, seminar, dll. Semoga jawaban saya memadai.

  • nov1

    18.01.2017 at 18:44 Balas

    persis seperti yg sy rasakan saat ini
    dari mulai letih hingga bosan sy rasakan

    bekerja selama 15 tahun di instansi yang sama, malah membuat saya bertanya
    “dimana akhir dari rutinitas ini?”
    pergi pagi – pulang ketika malam menjelang
    begitu terus dari senin hingga jumat

    dulu saya semangat meraih masa depan
    karena memiliki mimpi untuk mempunyai investasi yg bisa dijadikan passive income, sebagai bekal saya pensiun dini
    menikmati menjalani hari sebagai ibu & istri tanpa beban ekonomi

    kini target investasi tercapai
    bahkan sudah berjalan selama 3 tahun terakhir
    usia anak2pun perlahan beranjak remaja

    tapi keraguan mulai mendera
    saat suami mengingatkan
    apakah sy tidak sayang dengan penghasilan bulanan yg biasa sy dapat?
    apakah tidak sayang dengan perjuangan di kantor yg telah dimenangkan selama ini?
    sanggupkah saya kelak mengerem mimpi2 saya yg selalu berlari kesana kemari?
    sanggupkah investasi yang kami miliki menutupi kebutuhan kami semua kelak
    dengan begitu besarnya harapan & mimpi untuk masa tua kami & pendidikan anak2 nanti?
    siapkah saya melepas semua ini?

    seketika saya merasa serakah..
    merasa tidak berdaya mengontrol jatuhnya mimpi saya..
    tak mampu menjawab apa2..
    saya yakin.. tapi tidak bisa memastikan apapun..
    takut jika suatu saat keputusan itu akan saya sesali

    dan kini saya masih disini
    di kantor ini. menjalani hari yg sama. persis sama
    hanya saja dengan semangat yg berbeda
    semakin sering mempertanyakan
    untuk apa saya bekerja? sampai kapan saya bekerja?

    sungguh saya ingin di rumah bersama anak2, menanti suami pulang bekerja seperti teman2
    tapi akankah saya sesali jika saya lepaskan semua ini?

  • imanov

    24.12.2016 at 17:15 Balas

    bekerja dengan profesional dimanapun, tetap pada passion…
    dan jangan lupa bersyukur terhadap yang kita miliki, itu pesannya ya. thanks mbak dee

  • Sari Dewi

    14.12.2016 at 09:06 Balas

    Pensiun dini… sering terpikir dalam benak, apalagi suasana tempat kerja sudah tidak kondosif lagi…. sebagai seorang yang sudah berusia di atas 40 tahun, jelang lima puluh tahun (jelita) rasanya seperti sendirian di tengah2 tenaga kerja yang separuh umurnya denganku… namun pikiran itu selalu lenyap bila mengingat anak masih butuh biaya untuk sekolah…. akhirnya dengan kesadaran tergugah secara paksa untuk menerima realita bahwa harus tetap kerja, bangun pagi tergesa, senin sampai jumat dan sangat amat merasa bahagia kala sabtu dan minggu hadir…Akhirnya kata pensiun lenyap sekejap… Kadangkala melirik dan diam diam memperhatikan teman2 seumuran yang tidak bekerja ke kantor (setiap hari) sepertiku…tapi mereka bekerja di rumah (semacam home industri kecil kecilan) toh mereka lebih amat sangat sibuk sepertiku…dan tidak ada weekend sepertiku, karena libur sehari bagi mereka adalah berkurangnya pemasukan… semakin jauh kata pensiun ke simpan dalam relung terdalam… aku merasa tak punya keahlian apa apa selain bekerja sebagai seorang karyawan tingkat paling rendah di sebuah BUMD di kota ku… sepuluh tahun lagi usia pensiunku kan datang, aku belum bisa menentukan apa yang harus aku lakukan… apalagi nilai pensiun bulananku sangat kecil nilainya untuk sepuluh tahun yang akan datang sementara anakku terkecil saat itu baru berusia sekitar 13 tahunan…. yah ku akhiri semua khawatir ini dengan lapang dada dan dengan membaca tulisanmu membuatku sedikit lebih lega, paling tidak aku tau, bahwa bukan aku saja seorang yang akan memasuki masa tersebut… semoga ku mampu melewatinya dengan tenang dan akan ada petunjuk untuk bisa melakukan apa untuk menambah pemasukan ku… dan masih bersyukur (selalu bersyukur) bahwa saat ini bukanlah pikiran yang tepat untuk ingin mengambil pensiun dini, dan saat cuti sangat terasa betapa letihnya diri di rumah, karena pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tak ada habisnya dilakukan… dari bangun pagi sampai hampir pagi lagi, kerjaan tidak ada habis2nya… sementara di kantor, pekerjaan ada saatnya untuk istirahat dan santai ngobrol2 dengan rekan kerja… o ya, aku baru selesai mengambil cuti dan masa cutiku ku isi dengan menamatkan 2 novel mu… Gelombang yang ku beli tahun 2015 lalu dan membeli lanjutannya intelengsi embun pagi … novel yang bagus dan sedkit membingungkan bagiku hehehe…. Sari Dewi – Banjarmasin

  • Eva Puspita

    07.12.2016 at 13:44 Balas

    Jadi mikir lagi deh buat resign, apalagi dgn kondisi sakit autoimun.. hihii
    Makasi Ibu suri 🙂

  • Ayou mamboo

    08.11.2016 at 21:35 Balas

    I love you ibu suri *mikir 1000 kali buat resign ??

  • Ni Ayu Tiara Esaputri

    08.11.2016 at 18:14 Balas

    Oh so trueee Mbak deee. 3 years ago i started to doing and living my dream. Doing what i love (tourism business) and living where i love (Bali). But day by day, I can’t separate the working things and holiday, I hv to work hard everyday (24/7) even harder on peak season or public holidays.
    Lama-lama sulit sekali punya waktu liburan yg benar-benar liburan tanpa krang kring telepon ? Dan lebih sedih lagi ketika saya ajak temen liburan, mereka bilang “you’re on holiday everyday”?? Padahal itu kan bekerja.
    Bagaimana caranya mbak dee memberi jarak dan sekat antar keduanya?
    Cause i think you feel what i feel

  • Suriaty

    08.11.2016 at 16:31 Balas

    Beberapa hari ini, pikiran saya selalu berkutat dengan keinginan untuk melakukan apa yang menjadi passion saya, dan ingin sekali resign dari pekerjaan saya yang sekarang ini. Sampai hari ini, ketemu tulisan Dee…kalimat terakhir dari Dee : No matter how you love or loathe your job, at the end of the day, it’s still a job….membuat saya bangun dari pikiran yang rumit ini dan menjawab kegelisahan hati saya…thank you Dee…

  • Lina daniaty

    08.11.2016 at 16:06 Balas

    Saya rasa di kamus saya ga ada kata ‘pensiun dini’, krn saya setuju definisi pensiun dini teh Dee. Resign dari perusahaan di usia muda buat saya yang ada bukan pensiun, tapi karena menyadari ternyata kita punya pilihan lain yang lebih asyik untuk tetap produktif, yaitu dengan dengan mencurahkan segala passion yang kita punya. Yang saya bingung, trus klo udah asyik dengan passion yang ada, gimana suatu saat saya bisa memutuskan buat pensiun?? Apakah passion itu pelan2 akan mati? Atau berhenti di titik sudah terpuaskan? Atau krn jasad yang menyerah dengan sendirinya?

  • Sri Marlani_ Lani M

    08.11.2016 at 12:58 Balas

    ketika kata ‘cinta’ tersemat dalam pekerjaan, kadang butuh waktu lama untuk memulai bertanya ‘kapan pensiun?’ karena saking cintanya sama pekerjaan,sampai matipun akan tetap cinta sama pekerjaan. dan kata pensiun seakan tidak berlaku.
    inspiratif banget mbak Dee,buat mengembalikan mood boster yang hampir habis karena konsekuensi pekerjaan.
    semoga Ibu suri selalu sehat dan bahagia,dan masih terus menulis,jangan pensiun ya mbak Dee

    • Dee Lestari

      08.11.2016 at 13:05 Balas

      Hehe… tidak dalam waktu dekat, tentunya 🙂

  • MS Wijaya

    08.11.2016 at 12:07 Balas

    Ahahaha pensiun dini itu bebas dari bos dan menjadi bos untuk diri sendiri..

  • Mita Vacariani

    08.11.2016 at 11:47 Balas

    Seperti biasa tulisan kak Dee selalu bagus dan memberikan insight baru. Kebetulan saya baru saja resign dan ingin memulai usaha, juga menjalankan apa yang menjadi passion saya. Tidak pernah sekali pun saya berpikir bahwa saat ini saya sedang ‘pensiun dini’ karena rasanya sekarang saya malah bekerja lebih keras dibanding saat kerja kantoran dulu. But it is totally worth it. Kerja keras untuk diri kita sendiri. Bahkan oma saya yang secara status sudah resmi pensiun saja masih menyibukan diri dengan membuat rajutan dan ternyata masih laku dijual. Jadi rasanya pensiun yang sesungguhnya hanya akan terjadi ketika fisik sudah sedemikian lemah atau ketika napas ini berhenti.
    sukses selalu kak dee ^_^

    • Dee Lestari

      08.11.2016 at 13:06 Balas

      Thanks for sharing that. Sukses untukmu juga.

  • Dina marlina

    08.11.2016 at 09:57 Balas

    Pensiun dini dalam pikiran aku, sebagai pegawai bank yang baru 5tahun bekerja itu…doing what i want, buying everything i want, going anywhere i want, dengan duit yang terus mengalir. Tapi dari mana? Hahahahaa~ jadi betul kata ibusuri, it’s still a job anyway. Ujungnya, bukan berusaha mencari jalan utk bisa pensiun dini, atau berusaha mati2an mencintai pekerjaan aku. Tapi berusaha bersyukur masih bisa bekerja dan dapet penghasilan, untuk aku, anakku, dan sedikit buat suamii (?) .

  • Weky Budiman

    08.11.2016 at 09:54 Balas

    Pensiun dini itu kalau menang lotere 15 milyar rupiah 😀

  • dskwinda

    08.11.2016 at 09:49 Balas

    aku tergugah dg cara pandang kak dee, sering kali gambaran pensiun dini atau bahkan kerja dari rumah membuat kita memiliki pandangan bahwa nantinya pekerjaan itu akan lbh menyenangkan dan waktu luang utk keluarga akan lbh banyak. Padahal, bisa saja hal sebaliknya terjadi.

    Thanks inspirasinya kak dee 🙂

  • ahmad andriana

    08.11.2016 at 09:22 Balas

    bener banget mbak. Pensiun dini kadang menjebak, nyatanya tak sesuai harapan. malah banyak yang kembali merindukan suasana kantor.

  • registart

    08.11.2016 at 08:37 Balas

    selalu menuangkan kegelisahan yang dialami oleh banyak orang, terimakasih artikelnya ibu suri…

  • Tutut Indah W

    07.11.2016 at 22:38 Balas

    Gambaran pensiun dini bagi saya adalah how your best friend @climbingbird live her life.
    Meninggalkan hingar bingar dunia dan menata kehidupan yang damai di pedesaan Bulgaria.
    Sesekali tulis cerita tentang kehidupan beliau dong di blog ini ibu suri. 😉

Post a Comment