Bersih Sebelum Santun

Berargumen panjang lebar lewat medium seperti Twitter tidak pernah menjadi cara berkomunikasi favorit saya. Keterbatasan karakter sering menenggelamkan konteks dan membuat pesan kita yang sesungguhnya tak tersampaikan dengan utuh, atau malah terpotong-potong. Ketidaklengkapan itu berisiko kesalahpahaman, kesimpulan setengah matang, atau bahkan dimanfaatkan.

 

Demi melengkapi sebuah cuitan yang saya unggah saat menonton streaming debat Pilkada DKI pada malam tanggal 10 Feb 2017, maka saya membuat tulisan ini.

 

Saya ingat, pada debat final malam itu, Paslon 1 mengungkapkan pendapatnya tentang Paslon 2 yang punya kebiasaan bicara kasar bahkan melakukan kekerasan verbal. Juga pada debat-debat sebelumnya, baik Paslon 1 dan 3 berulang kali menggarisbawahi kelemahan Paslon 2 perihal karakternya yang meledak-ledak. Di medsos juga sama, opini yang dibangun menggunakan repetisi kata kunci seputar arogan, kasar, keras, menakut-nakuti, dan seterusnya. Paslon 2, seperti terseret dalam arus sama, menegaskan pada beberapa kesempatan bahwa sang cagub sedang belajar untuk berubah, mulai santun, mulai menahan diri.

 

Good manner, politeness, gentleness, word-savvy, were suddenly put in such high pedestal. Di situlah saya terusik. Dan, di situlah saya bercuit:

 

BersihSebelumSantun

 

Sebagai pembayar pajak, saya menyerahkan sebagian hasil jerih payah saya kepada negara untuk dijaga dan dimanfaatkan. Ada jutaan pembayar pajak dan ratusan juta orang yang bergantung kepada pemakaian uang negara. Apakah saya lantas membutuhkan pengelola yang santun?

 

Saya ambil contoh tempat tinggal saya. Tangerang Selatan. Saya tidak punya kesempatan harian menyapa ‘selamat pagi’ atau curcol kepada walikota Tangsel pada break makan siangnya, bahkan sampai hari ini saya belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Tapi, saya bergaul setiap hari dengan hasil kerjanya. Ketika jalan di depan kompleks mulus atau bolong, ketika trotoar hancur, ketika tiang listrik yang berdiri terlalu dekat ke jalan raya tumbang ditabrak truk hingga listrik dan jaringan internet padam, di situlah saya berinteraksi dengan kinerja beliau.

 

Warga seperti saya tidak membutuhkan kesantunan walikota yang tersenyum mengayomi hingga hati ini sejuk di tengah padamnya listrik, saya butuh ia bekerja menanggulangi masalah. Saya tidak perlu tahu berapa kali walikota saya beribadah umroh, tapi ketika saya melihat ada pengaspalan jalan, saya tahu ia menjalankan tugasnya. Saya tidak perlu tahu suku bangsa pejabat dinas lingkungan yang melayani saya, tapi ketika terjadi penumpukan sampah di jalanan, maka saya akan mempertanyakan komitmennya sebagai pelayan masyarakat.

 

Dalam arena politik, mencari kelemahan lawan adalah wajar. Apa pun yang berpotensi melemahkan, penting atau tidak penting, relevan atau tidak, bisa dimanfaatkan dan diolah. Seumpama torehan Stabillo, sesuatu bisa diwarnai berulang-ulang hingga berubah menjadi masalah besar dan mencolok. Namun, jika saya kembali ke posisi sebagai warga, apa sebenar-benarnya tuntutan saya kepada seorang pelayan masyarakat? Sederhana saja. Di atas yang lain-lain, nomor satu adalah bersih.

 

Lalu, di manakah posisi kesantunan dalam skala prioritas itu? Jujur, saya tidak tahu. Saya bahkan mempertanyakan fungsi kesantunan bagi warga yang ketemu dengan pejabat kotanya saja jarang. Saya juga jadi mempertanyakan mereka yang mengelu-elukan kesantunan sebagai kriteria sebegitu penting hingga layak dijual saat kampanye. Mungkin saya baru akan berubah pikiran kalau satu hari saya menemukan jalan-jalan bolong tidak perlu lagi ditambal dengan kerikil dan aspal, tapi cukup pakai kesantunan.

 

Apakah Ahok seratus persen bersih? Saya tidak punya kapasitas menjawabnya. Coba saja googling soal Sumber Waras, reklamasi Teluk Jakarta, kasus Bukit Duri, maka akan ada sejumlah argumen dan data yang menunjukkan bahwa pemerintahan DKI disinyalir melakukan penyelewengan, dan ada sejumlah argumen dan data lain yang menunjukkan bahwa kasus-kasus tersebut disitir oleh pihak tertentu yang ingin mendiskreditkan pemerintahan DKI. Sama seperti kalau kita googling soal alasan Anies Baswedan diberhentikan jadi menteri. Akan ada dua sisi cerita, bahkan lebih. Mana yang benar? Saya tidak tahu, dan tidak akan berpura-pura seolah saya tahu.

 

Banyak “detektif partikelir” di jagat maya yang tekun membongkari data dan fakta, kemudian membagi-bagikannya di media sosial. Kalau ternyata penyelidikan itu berakhir sesuai dengan dugaan dan harapan mereka, saya ikut berbahagia. It means all their expenditures were in a rightful path of pursuing the truth, in which I will highly respect and appreciate. Apalagi kalau sepotong cuitan saya bisa menambah semangat membongkar kebobrokan Pak Ahok (atau menambah semangat mereka yang ingin menunjukkan sebaliknya), saya sungguh merasa tersanjung.

 

Terus terang, saya tidak punya kapasitas menelisik semacam itu, dan tidak akan bersikap seolah-olah saya punya. Selama kesanggupan kita baru sebatas bertukar tautan berita dan meme dari sana-sini kemudian menggelontorkannya di linimasa, kita harus akui bahwa itu tidak lebih dari sekadar melampiaskan hasrat untuk menjadi pihak yang lebih benar. Saya, sebagaimana banyak warga lainnya, memiliki pekerjaan dan tanggung jawab lain yang sudah menyita banyak waktu hingga saya harus menyerahkan kepada mereka yang berwenang untuk menanganinya. Kita akan lihat siapa yang kelak akan terseret ke ranah hukum.

 

Andaikan Pak Ahok betulan terjegal kasus korupsi, saya rasa kesimpulannya pun tidak rumit-rumit. Ya, artinya dia tidak bersih. Citra anti-korupsi yang ia bangun bertahun-tahun sepanjang kariernya akan luluh lantak. Omongan Pak Ahok sebelumnya menjadi kemunafikan belaka. Sama halnya dengan para koruptor yang sekarang di bui padahal dulu di teve tegas mengatakan “Tidak!” kepada korupsi.

 

Jangan pikir saya tidak suka kesantunan. Kesantunan adalah kualitas yang mempesona, menenangkan, dan pada kadar dan konteks tertentu, kita butuh kesantunan sebagai salah satu keterampilan hidup bermasyarakat. Namun, saat  hujan turun semalaman dan rumah Anda ditelan banjir akibat sungai pampat oleh sampah, masih mampukah Anda mengingat kesantunan walikota, gubernur, bapak-ibu Pemda? Sebaliknya, saat Anda dimampukan menghirup kopi pagi dengan tenang tanpa harus mengungsi di perahu karet, masihkah Anda mempermasalahkan ketidaksantunan?

 

Juga jangan berpikir bahwa kita tidak boleh mendamba pelayan masyarakat yang bersih sekaligus santun. Jelas boleh. Syukur-syukur kalau dapat, tentu itu jadi berkah bagi kita semua. Tapi, saya pribadi tidak akan mempaketkan keduanya sebagai syarat kombo yang mutlak. Ketika menyangkut hajat hidup jutaan orang, kita harus jernih memilah mana kriteria yang mendesak dan tidak. Boleh saja kita tidak bersepakat soal ini. Bagi saya, kesantunan bukan urgensi.

 

Jika orang yang dianggap tak santun macam Pak Ahok satu hari terbukti juga tidak bersih, apakah prioritas saya atas kriteria pelayan masyarakat lantas berubah? Tidak. Saya mungkin akan menyesal pernah mendukung Pak Ahok. Tapi, dengan demikian kesantunan makinlah tidak revelan. Santun bisa korupsi, tidak santun juga bisa korupsi, jadi masihkah faktor kesantunan layak menjadi prioritas tertinggimu? If yes, then I wish you all the best and luck in the world with that.

 

We desperately need clean government above all else. CLEAN before all else. And that is exactly what I tweeted. Persepsi dan interpretasimu atas cuitan itu akan membawa ke arah mana pun yang kamu mau. Silakan saja. Saya tidak punya kendali soal itu. Yang jelas, bagi saya, soal arogan atau tidak, rajin ibadah atau tidak, ngomongnya ceplas-ceplos atau tertata, pandai berorasi atau bikin ngantuk, keras kepala atau lemah lembut, matanya bundar atau sipit atau juling, semua kualitas itu silakan berpuas di nomor kesekian sesudah kejujuran dan kebersihan bernegara.

 

Selamat memilih.

 

Indikator.jpg_large

 

Update tanggal 16 Februari 2017: Burhannudin Muhtadi, Direktur Indikator Politik Indonesia, lewat akun Twitter-nya @BurhanMuhtadi, menunjukkan kepada saya sebuah hasil survei yang dilakukan oleh Indikator tentang sifat kepemimpinan yang didamba masyarakat Indonesia. Terlihat jelas bahwa jujur dan bersih berada pada prioritas utama banyak orang, cukup jauh dibandingkan kriteria santun. Apparently the basic idea of this article is shared with many.

 


 

Terima kasih untuk akun @emhusnil di Twitter, yang secara tidak langsung, menggerakkan saya untuk menulis artikel ini. Untuk menanggapi cuitan saya, alih-alih memborbadir lewat tab mention seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang/bot, dengan adab dan jernih @emhusnil menulis tanggapan di blognya. Itikad baik @emhusnil itu mengingatkan saya bahwa elaborasi memang terkadang dibutuhkan untuk melengkapi sepotong cuitan.

 

Untuk Mas Husnil, sedikit catatan, saya tidak merasa pendapat saya serupa dengan teman Anda yang mempermasalahkan terlalu santunnya Anies Baswedan. Sebagaimana yang bisa dibaca dan disimpulkan dari tulisan saya ini, santun/tak santun/terlalu santun bukanlah masalah bagi saya. Saya baru mulai punya masalah kalau kolak pisang yang saya makan kurang santan.

 

* Ilustrasi diambil dari sini.

29 Comments

  • Ambash Mukeni

    30.04.2020 at 00:31 Balas

    emang ga bisa dipungkiri sih kalo korupsi masih merajalela

  • Celestilla

    31.05.2019 at 17:46 Balas

    Demi apaaa T.T Kenapa saya baru menemukan artikel ini setelah sekian tahun berlalu hueee. Bahkan topiknya udah kadung basi.

    Setuju sama Teh Dee. Bagi saya pun, perkara kesantunan bukan sesuatu yang ‘amat dibutuhkan’ dari pemimpin. Yang dibutuhkan ya, kerjanya. Keaktifannya. Hmm … Semoga warga DKI nggak menyesali pilihannya, ya.

  • Ical

    08.09.2017 at 02:10 Balas

    Saya kesal karena baru menemukan tulisan ini setelah pertarungan politik berlalu lama ?

    Salam kenal, Kak Dee. Saya pengagum Madre garis keras, hihihi.

  • Hafid ansori

    14.08.2017 at 12:49 Balas

    Salut?

  • Hafid ansori

    14.08.2017 at 12:48 Balas

    Keren mbak.

  • Rima Sulistiawati

    01.08.2017 at 15:37 Balas

    Sedikit berbeda Pandangan dengan Mba Dee, saya tetap pengagum tulisan-tulisanmu mba… Hehe…
    Yang penting bisa saling bahu membahu membangun negeri ini. Menanti Pejabat yang jujur dan bersih dari korupsi itu seperti menunggu kehadiran Ufo di langit atas rumah… Hehe.. entah kapan datangnya, entah ada atau tidak…

    • Dee Lestari

      03.08.2017 at 13:47 Balas

      Hehe, berbeda pandangan tentu tidak masalah. Makasih sudah mampir.

  • Ada Piko

    29.07.2017 at 01:16 Balas

    Semua hanyalah politik yang didukung oknum-oknum penerima imbalan, bukan karena agama semata.
    semoga ada kembali orang-orang yang jujur dan transparan dalam bekerja membangun negeri.
    tulisan yg bagus mbak dee, salutt!

  • Arie Putra

    09.05.2017 at 13:35 Balas

    Sayangnya saya baru membaca tulisan Mbak Dee setelah Ahok kalah dan hari ini telah dijatuhi hukuman 2 tahun penjara.
    Semoga pemimpin terpilih DKI adalah pemimpin yang santun dan bersih. Jangan sebaliknya.

    • Dee Lestari

      10.05.2017 at 09:01 Balas

      Konteks tulisan saya adalah “bersih” dari korupsi dan pencurian uang negara, bukan soal agama yang rentan interpretasi/tafsir/objektivitas. Semoga juga peradilan hari ini tidak jadi mengajarkan bahwa lebih mudah di negara ini untuk pemimpin korupsi ketimbang kepeleset lidah.

  • Elang Alfarez

    30.04.2017 at 09:03 Balas

    Bener, saya terkadang kesal dengan provokasi agama, terlalu garis keras dan kebanyakan asal tafsir saja.

  • Uye

    27.03.2017 at 20:39 Balas

    Orang hidup ada 2 sisi ada bail ada buruk…klo menilai buruknua trs tdklah baik…bgtu pula nilai baiknya trs…itu juga gak baik..

  • budhin

    01.03.2017 at 14:27 Balas

    Setelah kali beberapa saya baca tulisan ini, saya memberanikan diri (padahal siapalah saya) untuk memberikan komen dan semoga dapat berdiskusi lebih lanjut dengan mba dee (yang sangat saya suka dan koleksi karyanya).

    Awalnya saya sempat , menyerahkan copy KTP ketika taggar GUE AHOK diusung sebagai calon independent, yang namun akhirnya memutuskan untuk maju dengan dukungan partai. Saya kecewa sangat waktu itu, seakan copy KTP saya hanya dijadikan akal-akalan saja.
    Berkembangnya isu agama, mau tidak mau mempengaruhi keputusan saya untuk menentukan pilihan yang telah saya tentukan jauuuuuh sebelum isu agama ini dihadirkan.

    Saya adalah anak betawi asli dan sangat tidak suka orang yang bermuka dua, apalagi tidak jujur ( walaupun tingkat kejujuran bisa saja relative bagi tiap orang)
    Disinilah akhirnya pilihan saya terkuatkan, ketika dihadirkan sosok baru yang (katanya) santun, yang (katanya) berpendidikan baik , dan menjadi ‘lawan’ dari pilihan saya.
    Tidak perlu analisa banyak karena (alhamdulillahnya) Debat antar calon dihadirkan, sehingga kita (saya) dapat melihat apa-apa yang tidak terlihat sebelumnya. Dan dapat melihat siapa yang jujur, siapa yang ambisius dan siapa yang (sebenarnya) tidak tahu apa-apa

    Maaf jadi panjang … hihi .
    Terima kasih terhadap media yang telah menyiarkan debat antar calon tersebut, sehingga pilihan yang telah dijatuhkan sejak awal menjadi lebih kuat dan selalu ikhlas memberikan copy ktp bukti dukungan.

    Terima kasih mba Dee atas tulisannya yang sangaaaaaat baguus .
    Terima kasih karena terus menginspirasi

  • Via

    17.02.2017 at 17:05 Balas

    sependapat sama kakak. dan aku juga tanggapi tulisan kaka di blog aku : sagittariusgirlonfire.wordpress.com, kalau berkenan boleh mampir kak..

    • Dee Lestari

      20.02.2017 at 12:09 Balas

      Baik Via, nanti akan saya simak postingan-mu.

  • A-dee

    15.02.2017 at 11:09 Balas

    I like the way u are.

  • Dea Prasetyawati

    15.02.2017 at 09:20 Balas

    Tulus ! Suka !

  • Pandu Aji

    15.02.2017 at 00:59 Balas

    salut buat tulisan mbak Dee. berkelas 🙂

  • Mukhsin Pro

    14.02.2017 at 22:15 Balas

    Semoga pilkada segera berlalu, bosen liat orang saling bertikai hanya karena persoalan siapa yang akan menjadi Gubernur kedepannya.

  • margaretha trisnowati

    14.02.2017 at 19:51 Balas

    Bener bgt mbak…

  • Audrey D. Alodia

    14.02.2017 at 18:49 Balas

    Setuju, Ibu Suri!

  • anton

    14.02.2017 at 18:11 Balas

    Screw kesantunan ketika dalam kondisi darurat pemerintahan ini butuh pembersih yang benar2 membersihkan.
    Screw kesantunan jika model pemerintahannya seperti Duterte yang tak banyak omong tapi menembak mati para bandar narkoba.
    Tapi aapakah screw kesantunan jika kotor bicaranya dibarengi kecurigaan KPK dan BPK akan kinerjanya?
    apakah bersih mereka yang tabrak banyak aturan demi reklamasi? AMDAL yang malah baru menyusul.
    apakah bersih membeli lahan sendiri padahal sudah menjadi milik sendiri?
    Apakah benar benar kerja yang membuat rencana sendiri namun bekerjanya terus menerus 70%?
    Siapakah yang menjaga melarat melarat itu ketika surat tanah mereka tak mampu melindungi mereka dari penggusuran yang katanya untuk menyelamatkan Jakarta? JAKARTA YANG MANA?

    • Dee Lestari

      14.02.2017 at 21:23 Balas

      Mengenai kasus-kasus yang Mas permasalahkan, sudah saya jelaskan sikap saya di dalam artikel. Kalau Mas merasa sangat yakin dengan ketidakbersihan Ahok, silakan perjuangkan. Semoga Anda benar. Saya tulus. Saya senang orang yang betulan berusaha. Dan bukan cuma marah-marah.

  • Kharisma Dhita Retnosari

    14.02.2017 at 16:46 Balas

    Sependapat denganmu mbakk 🙂

  • Jeniferangel

    14.02.2017 at 15:52 Balas

    salute,maksur…
    Memang benar, kecerdasan emosi seseorang bisa dilihat dari tulisan yang ia gores..

  • Abas Moelabas

    14.02.2017 at 14:59 Balas

    Keren Mbak ?

Post a Reply to Dee Lestari Cancel Reply